Dubes Afrika Selatan yang Diusir AS Disambut di Tanah Air

Jakarta, IDN Times - Duta Besar Afrika Selatan (Afsel) untuk Amerika Serikat (AS), Ebrahim Rasool, disambut hangat oleh ratusan pendukung di Bandara Internasional Cape Town pada Minggu (23/3/2025). Rasool baru saja dideportasi setelah dinyatakan sebagai orang yang tidak diinginkan secara diplomatik (persona non-grata) oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengumumkan status Rasool pada 14 Maret 2025 melalui unggahan di platform X. Rubio menyebut Rasool sebagai politikus yang membenci AS, Trump dan memicu sentimen rasial. Pemerintah AS mencabut imunitas diplomatik Rasool dan memberinya tenggat waktu hingga Jumat (28/3/2025) untuk meninggalkan negara tersebut.
"Deklarasi persona non grata sebenarnya dimaksudkan untuk mempermalukan saya, tetapi ketika pulang disambut kerumunan dan kehangatan seperti ini, saya malah akan mengenakan status itu sebagai lencana kehormatan," kata Rasool kepada para pendukungnya, dilansir The Guardian.
1. Alasan pengusiran Rasool
Rasool diusir karena pernyataannya dalam webinar yang diadakan oleh lembaga Afsel. Dalam acara tersebut, Rasool membahas kebijakan Trump yang menekan program keberagaman, kesetaraan, dan imigrasi. Dia juga menyinggung proyeksi demografis AS di masa depan yang menunjukkan penduduk kulit putih tidak lagi menjadi mayoritas.
Dalam webinar itu, Rasool menyebut gerakan MAGA (Make America Great Again) sebagai reaksi terhadap perubahan demografis di AS. Dia menyampaikan bahwa pemilih di AS diproyeksikan hanya akan terdiri dari 48 persen kulit putih di masa mendatang.
Pengumuman Rubio tentang pengusiran Rasool merujuk pada artikel berita dari situs konservatif Breitbart. Artikel tersebut ditulis oleh Joel Pollak, editor senior yang lahir di Afsel dan dikenal dekat dengan pemerintahan Trump. Media setempat melaporkan, Pollak menjadi kandidat kuat untuk posisi duta besar AS berikutnya untuk Afsel.
2. Tanggapan Rasool atas pengusiran
Rasool membela ucapannya saat kembali ke Afsel. Dia menjelaskan bahwa komentarnya merupakan analisis fenomena politik dan peringatan bagi para pemimpin di negaranya bahwa politik AS telah berubah.
"Amerika sekarang bukan lagi Amerika era (Barack) Obama atau Clinton, ini Amerika yang berbeda dan karena itu cara berkomunikasi kita harus berubah," jelas Rasool, dilansir CNN.
Dia menambahkan bahwa analisanya berfokus pada fenomena politik, bukan pada pribadi, bangsa, atau pemerintahan. Rasool meluruskan bahwa Afsel tidak bersikap anti-Amerika. Menurutnya, kedua negara perlu menjaga hubungannya.
Rasool juga menyakatakan Afsel akan menolak tekanan dari AS atau pihak manapun untuk menghentikan gugatan di Mahkamah Internasional terhadap Israel. Afsel juga menuduh Israel melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza.
Beberapa pendukung yang menyambut Rasool juga terlihat mengibarkan bendera Palestina dan meneriakkan slogan dukungan untuk Palestina. Setelah kembali ke tanah air, Rasool dijadwalkan akan melaporkan situasi kepada Presiden Cyril Ramaphosa pada Senin (24/3/2025).
3. Hubungan AS-Afsel memburuk
Hubungan AS dan Afsel semakin memanas dalam beberapa bulan terakhir. Trump mengeluarkan perintah eksekutif pada Februari 2025 untuk menghentikan semua pendanaan ke negara tersebut. Trump menuding Afsel mendukung Hamas dan Iran, serta membuat kebijakan yang merugikan warga kulit putih di negaranya.
Trump bahkan menawarkan tempat tinggal di AS bagi petani Afsel kulit putih. Dia kembali menuding pemerintah Afsel mengambil tanah dari orang kulit putih, meskipun tanpa bukti yang mendukung klaim tersebut. Elon Musk, yang lahir di Afsel, ikut menuding Presiden Ramaphosa karena memiliki undang-undang kepemilikan yang diskriminatif.
Afsel, yang saat ini menjabat sebagai presiden G20, menyatakan bahwa memperbaiki hubungan dengan AS adalah prioritas. Washington merupakan mitra dagang terbesar kedua bagi negara tersebut dan akan mengambil alih kepemimpinan G20 tahun depan.
Ramaphosa akan berupaya menjalin komunikasi dengan AS melalui pengiriman utusan dari sektor bisnis dan pemerintah. Namun, Rasool mengingatkan bahwa pemerintah tidak boleh mengorbankan nilai-nilai negara dalam upaya memperbaiki hubungan dengan Washington, dilansir TRT.