Iran Siap Berunding Soal Nuklirnya dengan IAEA, Tapi Ogah Ditekan

- Uni Eropa/E3 mendorong resolusi baru terhadap Iran di IAEA minggu depan, menekan Teheran atas kerja sama yang buruk.
- Iran kini telah memperkaya uraniumnya hingga 60 persen dan menolak resolusi Uni Eropa, berpotensi membatasi kerja sama diplomatik dan teknis dengan IAEA.
- Pembicaraan antara Iran dan IAEA terkait program nuklir berlangsung pasca-terpilihnya kembali Trump sebagai presiden AS, yang akan memberlakukan tekanan penuh untuk mengekang Iran.
Jakarta, IDN Times – Iran mengungkapkan kesiapannya kembali berunding dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) terkait program nuklirnya. Namun, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, mengatakan pihaknya enggan untuk ditekan.
"Bola ada di tangan Uni Eropa/E3. Iran bersedia bernegosiasi berdasarkan kepentingan nasional dan hak-hak yang tidak dapat dicabut, tetapi tidak siap bernegosiasi di bawah tekanan dan intimidasi," kata Araqchi setelah pertemuan dengan IAEA, pada Kamis (14/11/2024), dilansir Reuters.
Dikabarkan sehari sebelumnya bahwa negara adidaya Uni Eropa (E3) sedang mendorong sebuah resolusi baru terhadap Iran untuk diajukan di IAEA minggu depan. Mereka berupaya menekan Teheran atas kerja sama yang dianggap buruk. Araqchi sendiri mengungkapkan harapannya agar pihak lain dapat mengadopsi kebijakan yang rasional.
1. Perselisihan Iran dan IAEA masih berlanjut

Hubungan antara Teheran dan IAEA telah memburuk karena beberapa masalah jangka panjang. Salah satunya yakni larangan Iran kepada para ahli dari IAEA untuk masuk ke negaranya untuk melakukan inspeksi. Keengganan itu diduga karena Iran mencoba menyembunyikan program senjata nuklirnya.
Pada Agustus, badan tersebut mengatakan produksi uranium yang diperkaya tinggi oleh Iran terus berlanjut. Sementara Iran tak kooperatif meskipun ada resolusi yang disahkan oleh Dewan Gubernur IAEA pada Juni.
"Inspeksi hanyalah satu bab dari kerja sama kita dan tidak dapat didiskusikan," kata Kepala IAEA, Rafael Grossi.
Iran kini telah memperkaya uraniumnya hingga 60 persen. Kondisi ini semakin mendekati angka 90 persen, di mana pengayaan uranium dalam persentase tersebut dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir. Adapun Teheran mengatakan bahwa nuklirnya digunakan untuk tujuan damai.
2. Iran ancam balik resolusi yang disiapkan oleh Uni Eropa

Terkait dengan resolusi yang disusun oleh Uni Eropa, Iran dengan tegas menolaknya. Kepala Badan Nuklir Iran, Mohammad Eslami, memperingatkan bahwa Teheran akan segera bereaksi terhadap resolusi apa pun yang menentangnya pada pertemuan IAEA minggu depan.
Seorang pejabat senior Iran mengatakan bahwa Teheran kemungkinan akan membatasi kerja sama diplomatik dan teknis dengan IAEA sebagai reaksi terhadap resolusi tersebut.
"Ada dalam kewenangan kami untuk mengambil langkah-langkah konkret yang akan menunjukkan dengan jelas kepada AS dan masyarakat internasional bahwa kami dapat mengklarifikasi berbagai hal dan bergerak maju dengan solusi konkrit," kata Grossi.
Grossi tiba di Teheran pada Rabu. Ia bertemu Presiden Iran Masoud Pezeshkian untuk pertama kalinya sejak ia menjabat pada Agustus lalu.
3. Trump kemungkinan juga bakal semakin menekan program nuklir Iran

Pembicaraan antara Iran dan IAEA terkait dengan program nuklir berlangsung tak lama setelah terpilihnya kembali Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) pada pekan lalu. Selama masa jabatan pertamanya, AS menarik diri dari perjanjian nuklir 2015 dan kembali memberlakukan sanksi terhadap Iran.
Dilansir Wall Street Journal, di masa kepemimpinan keduanya ini, kebijakan Trump kemungkinan tak akan berubah. Trump berencana untuk memberikan tekanan dengan kekuatan penuh untuk mengekang Iran.
”Ia juga memberlakukan ’tekanan maksimum’ dengan harapan Iran akan menghentikan ambisi untuk memiliki senjata nuklir, menghentikan pendanaan dan pelatihan terhadap kelompok teroris, dan memperbaiki catatan hak asasi manusianya,” lapor WSJ.
Salah satu sanksi yang kembali dijatuhkan adalah pembatasan penjuan minyak milik Iran. Hal ini dianggap bakal ampuh dalam mengurangi pengaruh Iran di Timur Tengah.