Kekerasan terhadap Perempuan Kenya kian Parah, Sebulan 14 Pembunuhan

Jakarta, IDN Times - Amnesty International cabang Kenya mengatakan kasus pembunuhan terhadap perempuan merupakan manifestasi paling brutal dalam kekerasan berbasis gender. Hal ini disampaikan Amnesty dalam sebuah pernyataan menjelang aksi unjuk rasa pada Sabtu (27/1/2024), untuk memprotes kasus pembunuhan perempuan yang masif di Kenya.
“Ini tidak dapat diterima dan tidak boleh dinormalisasi,” kata organisasi tersebut, seraya mendesak pihak berwenang untuk menyelidiki kasus ini dengan lebih serius dan mengadili para pelakunya.
Menurut laporan pemerintah yang dirilis pada 2023, lebih dari 30 persen perempuan di Kenya mengalami kekerasan fisik selama hidup mereka, dan 13 persen lainnya mengalami beberapa bentuk kekerasan seksual. Namun angka tersebut dinilai hanya mewakili sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya, lantaran banyak korban tidak melaporkannya, dikutip DW.
1. Ribuan orang unjuk rasa
Ribuan orang melakukan unjuk rasa di seluruh kota di Kenya pada Sabtu (27/1/2024), untuk mengecam pembunuhan belasan perempuan baru-baru ini. Protes tersebut merupakan yang terbesar yang pernah dilakukan di negara itu dalam upaya melawan kekerasan seksual dan berbasis gender.
Di ibu kota negara, Nairobi, pengunjuk rasa mengenakan kaos bertuliskan nama perempuan yang menjadi korban pembunuhan bulan ini. Kerumunan yang sebagian besar terdiri dari perempuan berjalan menuju Parlemen dan menghentikan lalu lintas di kawasan pusat bisnis tersebut.
“Berhentilah membunuh kami! Tidak ada pembenaran untuk membunuh perempuan," teriak para demonstran.
2. Massa tuding perwakilan perempuan di parlemen tidak becus mengatasi kasus tersebut
Dilansir Associated Press, massa di Nairobi memprotes upaya perwakilan perempuan di parlemen, Esther Passaris, dalam mengatasi masalah tersebut, dan menuduhnya tetap diam selama gelombang pembunuhan terbaru. Para pengunjuk rasa meneriakinya dengan teriakan “Di mana Anda?” dan “Pulanglah!”
“Suatu negara dinilai bukan dari seberapa baik negara tersebut memperlakukan masyarakat kaya, namun seberapa baik negara tersebut memperhatikan kelompok lemah dan rentan,” kata Presiden Masyarakat Hukum Kenya Eric Theuri, yang turut serta dalam demonstrasi itu.
3. Kasus kekerasan berbasis gender butuh waktu lama untuk naik ke persidangan
Patricia Andago, jurnalis di perusahaan media dan penelitian Odipo Dev yang juga ikut serta dalam demonstrasi tersebut, mengatakan bahwa sedikitnya 14 perempuan telah terbunuh sejak awal tahun ini.
Pekan lalu, Odipo Dev melaporkan bahwa sedikitnya 500 perempuan dibunuh sejak Januari 2016 hingga Desember 2023, menurut laporan berita. Andago mengatakan, masih banyak lagi kasus yang tidak dilaporkan
Awal bulan ini, dua perempuan dibunuh di akomodasi Airbnb dalam insiden terpisah. Salah satu korban adalah mahasiswa yang ditemukan dalam keadaan termutilasi dengan kepala terpenggal. Sebelumnya, ia dilaporkan diculik oleh para penjahat mendapatkan uang tebusan. Polisi mengatakan, tersangka adalah bagian dari geng pemeras yang menargetkan perempuan melalui situs kencan.
Seminggu sebelumnya, jenazah perempuan lainnya juga ditemukan di sebuah apartemen dengan beberapa luka tusukan, setelah dia pergi ke sana bersama seorang pria yang ditemui secara online.
Theuri mengatakan, kasus-kasus kekerasan berbasis gender membutuhkan waktu lama untuk dapat disidangkan di pengadilan Kenya. Menurutnya, hal ini akan semakin membuat para pelaku berani untuk melakukan kejahatan terhadap perempuan.
“Saat ini kita kekurangan sekitar 100 hakim. Kita kekurangan 200 hakim dan hakim, sehingga roda keadilan berjalan lambat akibat kurangnya sumber daya,” katanya.