Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Perempuan Kenya Demonstrasi Lawan Femisida

ilustrasi (Unsplash.com/Clay Banks)

Jakarta, IDN Times - Puluhan ribu perempuan di Kenya melakukan protes dan konvoi, meyerukan perlawanan menentang femisida atau kekerasan pada perempuan akibat kebenciannya terhadap perempuan.

Protes antifemisida itu adalah yang terbesar yang pernah dilakukan di Kenya. Protes ini terutama dilakukan setelah baru-baru ini, lebih dari selusin perempuan dibunuh di Kenya.

Protes bertajuk Pawai Feminis Melawan Femisida. Mereka juga membawa plakat berisi nama dan foto korban kekerasan. Aksi ini menghentikan lalu lintas di kawasan bisnis.

1. Berhenti membunuh kami, kata para demonstran

Tidak ada jumlah pasti yang bisa diperkirakan berapa banyak perempuan yang ikut berpartisipasi dalam protes anti-femisida. Banyak dari mereka mengenakan kaos bertuliskan "Stop Femicide."

"Berhentilah membunuh kami! Tidak ada pembenaran untuk membunuh perempuan,” teriak para demonstran dikutip dari Al Jazeera.

"Suatu negara dinilai bukan dari seberapa baik negara tersebut memperlakukan masyarakat kaya, namun seberapa baik negara tersebut memperhatikan kelompok lemah dan rentan,” kata Presiden Masyarakat Hukum Kenya Eric Theuri.

2. Sekitar 500 kasus pembunuhan terhadap perempuan sejak 2016

Patricia Andago, jurnalis data di perusahaan media dan penelitian Odipo Dev, mengatakan sejak awal tahun setidaknya 14 perempuan di Kenya telah dibunuh.

Perwakilan perempuan di parlemen Esther Passaris berusaha berbicara dengan para demonstran, tapi massa menentangnya. Mereka menyebut Passaris diam selama gelombang pembunuhan terbaru terjadi.

Dilansir The Guardian, sejak 2016, setidaknya 500 kasus pembunuhan terhadap perempuan tercatat. Organisasi yang mendokumentasikannya, mengatakan kemungkinan jumlah sebenarnya lebih tinggi dengan insiden yang tidak dilaporkan.

"Banyak orang tidak memahami apa itu femisida," kata Maria Angela Maina, seorang pengacara dan advokat kesetaraan gender yang ikut serta dalam protes tersebut.

"Kondisi pembunuhan ini berbeda dari pembunuhan biasa, jadi fakta bahwa masyarakat sekarang lebih sadar dan mereka berbicara tentang masalah ini dan bahkan turun ke jalan untuk melakukan protes sangatlah kuat," tambahnya.

3. Femisida tidak boleh dinormalisasi

Pada 2023, laporan pemerintah menyebutkan lebih dari 30 persen perempuan Kenya mengalami kekerasan fisik selama hidup. Sekitar 13 persen mengalami beberapa bentuk kekerasan seksual.

Dilansir Deutsche Welle, organisasi hak asasi manusia menyebut angka itu hanya mewakil sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya.

"Femisida adalah manifestasi paling brutal dari kekerasan berbasis gender," kata Amnesty International cabang Kenya.

"Ini tidak dapat diterima dan tidak boleh dinormalisasi," ujar organisasi tersebut.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pri Saja
EditorPri Saja
Follow Us