Militer AS Hantam Kapal yang Diduga Angkut Narkoba

- Serangan sebelumnya berlangsung berturut-turut, menewaskan 32 orang yang diduga terlibat dalam perdagangan narkoba di Pasifik dan Karibia.
- Administrasi Trump klaim serangan sesuai hukum dengan mengklasifikasikan kartel sebagai Organisasi Teroris Asing (FTO) dan ancaman setara dengan invasi asing.
- Dunia kecam serangan AS karena dianggap melanggar hukum internasional laut dan eksekusi ekstrayudisial, serta menimbulkan ketegangan di wilayah Karibia.
Jakarta, IDN Times – Militer Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan kedelapan terhadap kapal yang diduga membawa narkoba pada Selasa (21/10/2025) di lepas pantai Pasifik Kolombia, menewaskan dua orang. Serangan ini menjadi yang pertama di kawasan Pasifik dan memperluas operasi Presiden AS, Donald Trump yang sebelumnya berfokus pada wilayah Karibia. Dalam tujuh serangan terdahulu, sedikitnya 32 orang dilaporkan tewas.
Pada Rabu (22/10/2025), Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth merilis video yang memperlihatkan kapal kecil berisi paket berwarna cokelat meledak setelah terkena rudal.
“Kemarin, atas perintah Presiden Trump, Departemen Perang melakukan serangan kinetik mematikan terhadap sebuah kapal yang dioperasikan oleh Organisasi Teroris yang Ditetapkan dan melakukan perdagangan narkoba di Pasifik Timur,” katanya, dikutip dari Al Jazeera.
Ia menambahkan bahwa dua korban tewas merupakan narco-terrorists, menggambarkan mereka sebagai ancaman besar setara kelompok teroris.
1. Serangan sebelumnya berlangsung berturut-turut
Rangkaian operasi tersebut dimulai pada 2 September 2025, ketika serangan pertama menewaskan 11 orang yang dikaitkan Trump dengan Tren de Aragua, geng asal Venezuela. Serangan berikutnya berlangsung pada 15 September 2025 (tiga tewas), 19 September 2025 (tiga tewas), 3 Oktober 2025(empat tewas), 14 Oktober 2025 (enam tewas), 16 Oktober 2025(dua tewas, dua selamat), dan 17 Oktober 2025 (tiga tewas) yang disebut sebagai anggota Tentara Pembebasan Nasional, kelompok pemberontak Kolombia.
AS tidak banyak mengungkap detail mengenai target, hanya menyebutkan bahwa kapal-kapal tersebut membawa narkoba. Dalam serangan 16 Oktober 2025, dua penyintas diserahkan kembali ke Ekuador dan Kolombia. Pemerintah Ekuador kemudian membebaskan warganya setelah tidak menemukan bukti keterlibatan dalam aktivitas ilegal.
2. Administrasi Trump klaim serangan sesuai hukum

Pemerintahan Trump mengklasifikasikan kartel seperti Tren de Aragua sebagai Organisasi Teroris Asing (FTO), dengan alasan bahwa operasi tersebut termasuk dalam konflik bersenjata non-internasional. Hegseth membandingkan para penyelundup narkoba dengan al-Qaeda dan menyatakan bahwa mereka juga melancarkan serangan terhadap rakyat AS di perbatasan.
“Sama seperti al-Qaida melancarkan perang di tanah air kita, kartel-kartel ini melancarkan perang di perbatasan dan rakyat kita. Tidak akan ada tempat perlindungan atau pengampunan – hanya keadilan,” ucapnya, dikutip dari NBC News.
Dilansir dari The Guardian, pemerintah AS berpendapat bahwa serangan ini sah berdasarkan wewenang konstitusional Trump untuk melindungi negara, dengan menganggap kartel sebagai ancaman yang setara dengan invasi asing. Namun, sejumlah pakar hukum menilai pelabelan kartel sebagai FTO tidak dapat dijadikan dasar penggunaan kekuatan mematikan, terlebih karena tidak ditemukan bukti kuat yang mengaitkan Tren de Aragua dengan pemerintahan Venezuela di bawah Nicolás Maduro.
3. Dunia kecam serangan AS

Tindakan militer AS memicu kritik internasional, termasuk dari para ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 21 Oktober 2025 yang menilai serangan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah.
“Penggunaan kekuatan mematikan di perairan internasional tanpa dasar hukum yang tepat melanggar hukum internasional laut dan merupakan eksekusi ekstrayudisial,” kata para ahli, dikutip dari Al Jazeera.
Presiden Kolombia Gustavo Petro menyatakan bahwa salah satu korban tewas, seorang nelayan bernama Alejandro Carranza, tidak terlibat dalam perdagangan narkoba. Ia menuding AS melakukan pembunuhan dan melanggar kedaulatan Kolombia.
Badan Intelijen Pusat (CIA) disebut sebagai penyedia utama data intelijen dalam operasi ini, dengan Trump sebelumnya mengonfirmasi adanya operasi rahasia CIA di Venezuela. Kerahasiaan data intelijen tersebut membuat sulit untuk memverifikasi apakah kapal yang menjadi sasaran benar-benar terkait dengan perdagangan narkoba atau tidak.
Ketegangan meningkat seiring penguatan kehadiran militer AS dan Venezuela di wilayah Karibia. Trump mengindikasikan rencana perluasan operasi dalam waktu dekat.
“Banyak narkoba dari Venezuela masuk melalui laut, tapi kami juga akan menghentikannya di darat,” ujarnya, menyoroti fokus strategis pemerintahnya terhadap jalur narkoba yang disebutnya membawa 75 persen kokain Kolombia melalui rute Pasifik.


















