Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

PBB Kritik Penanganan Sri Lanka atas Penghilangan Paksa selama Perang

Ilustrasi bendera PBB. (Pixabay.com/padrinan)
Intinya sih...
  • Kantor OHCHR mengkritik pemerintah Sri Lanka atas kegagalan mengungkap puluhan ribu penghilangan paksa selama perang saudara.
  • Pihak keamanan dituduh melakukan penghilangan paksa secara luas, tapi akuntabilitas dan reformasi lembaga masih minim.
  • Banyak keluarga yang masih mencari keberadaan orang yang hilang, menolak menerima akta kematian tanpa informasi jelas.

Jakarta, IDN Times - Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mengkritik kegagalan pemerintah Sri Lanka untuk mengungkap penghilangan paksa terhadap puluhan ribu orang selama perang saudara. Kritikan itu disampaikan dalam sebuah laporan yang dirilis pada Jumat (17/5/2024).

Sri Lanka mengalami perang saudara dari sejak 1983-2009, yang melibatkan pemerintah mayoritas Sinhala yang beragama Buddha dan Macan Pembebasan Tamil Eelam, minoritas Tamil, yang beragama Hindu dan Kristen. Etnis Tamil yang merasa tertindas ingin membentuk negara sendiri.

Dalam konflik tersebut pihak keamanan Sri Lanka dituduh melakukan penghilangan paksa secara luas. Pihak Tamil juga dituduh melakukan pelanggaran dengan mewajibkan tentara anak-anak, menjadikan warga sipil sebagai tameng manusia, dan membunuh mereka yang mencoba kabur.

1. Sri Lanka wajib menyelesaikan kasus penghilangan paksa

Ilustrasi bendera Sri Lanka. (Pixabay.com/Kaufdex)

Dilansir Voa News, laporan tersebut mencatat meski perang telah berakhir hampir 15 tahun, tapi pihak berwenang masih gagal memastikan akuntabilitas atas pelanggaran yang terjadi. Pihak berwenang juga gagal mengungkap  gelombang penghilangan paksa yang paling awal.

“Akuntabilitas harus ditangani. Kita perlu melihat reformasi kelembagaan agar rekonsiliasi mempunyai peluang untuk berhasil," kata Komisaris Tinggi OHCHR Volker Turk.

Badan hak asasi itu mengatakan bahwa berdasarkan hukum internasional, negara mempunyai kewajiban yang jelas untuk menyelesaikan kasus-kasus penghilangan paksa sampai nasib dan keberadaan orang-orang yang hilang dapat diklarifikasi.

“Pemerintah berhutang budi kepada semua orang yang dihilangkan secara paks agar kejahatan ini diselidiki sepenuhnya. Kejahatan ini tidak hanya menghantui orang-orang yang mereka cintai, tapi seluruh komunitas dan masyarakat Sri Lanka secara keseluruhan," ujar Turk.

“Laporan ini merupakan pengingat bahwa semua warga Sri Lanka yang menjadi korban penghilangan paksa tidak boleh dilupakan." Dia menambahkan bahwa keluarga mereka dan orang-orang yang peduli terhadap mereka telah menunggu begitu lama dan berhak mengetahui kebenaran.

2. Pemerintah beri pengampunan kepada orang yang telah dihukum

Ilustrasi palu pengadilan. (Unsplash.com/Tingey Injury Law Firm)

Ravina Shamdasani, juru bicara komisioner tinggi, mengatakan secara umum, tampaknya tidak ada kemauan politik untuk memberikan akuntabilitas terhadap kasus-kasus ini.

“Ada banyak hambatan berulang terhadap akuntabilitas. Sering terjadi keengganan pihak kepolisian untuk menerima pengaduan, keterlambatan dalam sistem peradilan, konflik kepentingan di kantor kejaksaan agung, dan program reparasi yang belum dikembangkan melalui konsultasi yang memadai dengan para korban," kata juru bicara itu.

Temuan lembaga itu mengakui pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah mengambil beberapa langkah positif untuk mengatasi masalah orang hilang. Hal ini termasuk ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, pembentukan Kantor Orang Hilang dan Kantor Reparasi serta kriminalisasi penghilangan paksa.

Namun, laporan menemukan kemajuan nyata dalam penyelesaian kasus-kasus individu secara komprehensif masih terbatas. Pihak berwenang dalam menanngani proses pidana dilanda oleh penundaan yang berkepanjangan, dan penundaan jauh lebih buruk dalam kasus-kasus penghilangan paksa atau pelanggaran serius lainnya yang melibatkan pejabat negara.

Laporan tersebut juga mengutip kasus salah satu dari sedikit kasus terkait penghilangan paksa, di mana seseorang dihukum pada tahun 2020, tapi presiden Sri Lanka saat itu memberikan pengampunan kepada individu tersebut.

3. Kerabat minta pihak berwenang memberi penjelasan

Ilustrasi Korban (IDN Times/Mardya Shakti)

Dilansir Associated Press, Rasalingam Thilakawathi, seorang ibu yang mencari putrinya, yang berusia 19 tahun pada 2009. Bukti terakhir keberadaan dari foto di sebuah koran yang memperlihatkan putrinya duduk di dalam bus bersama orang lain. Keterangan foto itu menunjukkan para pejuang Macan Tamil yang ditangkap pada akhir perang pada bulan Mei 2009.

“Beri tahu saya apakah dia hidup atau mati. Jika kamu menembaknya, katakan padaku bahwa kamu menembaknya, aku akan menerimanya," kata Thilakawathi, yang berulang kali bertanya kepada pihak berwenang.

“Saya tidak ingin melepaskannya tetapi saya tidak bisa berjalan dengan baik sekarang. Saya berdoa agar dia kembali. Saya yakin dia ada di sana,” kata Soosai Victoria, 74 tahun, ia mencari putranya yang hilang pada usia 21 tahun.

Banyak orang tua yang menolak menerima akta kematian untuk anak-anak mereka tanpa informasi tentang apa yang terjadi pada mereka.

Thilakawathi dan orang tua lain telah berdemonstrasi, mengatakan mereka akan melanjutkannya sampai mendapatkan jawaban. Dia telah pergi ke badan keamanan negara dan komisi yang ditunjuk pemerintah, tapi belum menerima informasi apa pun.

Dia mengatakan putrinya direkrut sebagai tentara anak-anak oleh Macan Tamil, tiga tahun sebelum hilang. Dia bekerja di departemen komputer, takut saudara-saudaranya juga akan diambil jika dia meninggalkan mereka.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us