PBB Kritik Sistem Bantuan Gaza yang Didukung AS-Israel

- Ratusan warga Gaza tewas saat mencari makan
- GHF menggunakan kontraktor keamanan swasta bersenjata, didukung AS dan Israel. GHF membantah tuduhan serangan di dekat lokasi distribusi dan menyebut sistemnya aman.
- UNRWA alami krisis keuangan.
Jakarta, IDN Times- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam sistem distribusi bantuan baru di Gaza yang didukung oleh Amerika Serikat dan Israel. Lembaga yang menjadi sorotan, Gaza Humanitarian Foundation (GHF), mulai beroperasi pada 26 Mei setelah Israel sempat memutus total pasokan bantuan selama lebih dari dua bulan.
Kecaman ini muncul seiring laporan tewasnya lebih dari 410 warga Palestina dan sedikitnya 3 ribu lainnya luka-luka akibat tembakan pasukan Israel di dekat titik-titik distribusi. Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) menyebut penggunaan makanan sebagai senjata dan penghalangan akses terhadap layanan penyelamat nyawa merupakan sebuah kejahatan perang.
PBB dan organisasi-organisasi bantuan besar lainnya menolak untuk bekerja sama dengan GHF. Mereka khawatir mekanisme tersebut dirancang untuk melayani tujuan militer Israel dan melanggar standar bantuan kemanusiaan internasional.
"Kekacauan terjadi di titik-titik distribusi bantuan. Warga Gaza yang kelaparan dan putus asa menghadapi pilihan tidak manusiawi, yaitu mati kelaparan atau terbunuh saat mencari makanan," ujar juru bicara OHCHR, Thameen Al-Kheetan, dilansir dari New Arab, pada Selasa (24/6/2025)
1. Ratusan warga Gaza tewas saat mencari makan
Laporan mengenai korban jiwa dan luka-luka berasal dari Kementerian Kesehatan di Gaza serta berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kantor HAM PBB saat ini sedang dalam proses memverifikasi secara independen angka-angka tersebut untuk memastikan akurasi setiap insiden.
Saksi mata di lapangan melaporkan pemandangan kacau di sekitar titik-titik pembagian makanan yang dioperasikan GHF. Rekaman dari Rumah Sakit Al-Awda di Nuseirat memperlihatkan para pemuda dengan luka tembak terus berdatangan hingga memenuhi setiap tempat tidur dan lantai fasilitas medis.
Seorang warga, Umm Raed al-Nuaizi, menceritakan putranya tertembak saat mencoba mengambil sekantong tepung untuk keluarganya yang kelaparan. Warga lainnya menyebut area pembagian bantuan sebagai "zona kematian" yang membuat mereka takut mendekat meskipun sangat membutuhkan makanan untuk bertahan hidup, dilansir BBC.
"Mekanisme yang baru dibuat ini adalah sebuah kekejian yang mempermalukan dan merendahkan orang-orang yang putus asa. Ini adalah jebakan maut yang memakan lebih banyak nyawa daripada yang diselamatkannya," ujar Kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini.
2. GHF bantah sistem distribusinya tidak aman
GHF diklasifikasikan sebagai organisasi swasta dengan sumber pendanaan yang dinilai tidak transparan. Lembaga ini menggunakan jasa kontraktor keamanan swasta bersenjata dan didukung oleh AS serta Israel.
PBB dan lembaga bantuan lainnya menolak bekerja sama dengan GHF dengan alasan prinsip kemanusiaan. Mereka menuduh GHF bekerja sama dengan militer Israel menggunakan cara yang melanggar prinsip netralitas dan independensi dalam penyaluran bantuan.
GHF secara konsisten membantah tuduhan adanya serangan di dekat lokasi distribusinya dan menyebut informasi dari Kemenkes Gaza tidak kredibel. GHF mengklaim sistemnya aman dan akan melanjutkan operasi mereka di Gaza.
"Intinya, bantuan kami terkirim dengan aman. Daripada bertengkar dan saling menghina, kami akan menyambut baik PBB dan kelompok kemanusiaan lainnya untuk bergabung dengan kami dan memberi makan orang-orang di Gaza. Kami siap bekerja sama dan membantu mereka menyalurkan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan," kata GHF, dilansir CBS.
Di sisi lain, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengaku sedang meninjau laporan korban cedera akibat tembakannya. Mereka membantah mengetahui adanya insiden di dekat lokasi distribusi bantuan di Rafah.
3. UNRWA alami krisis keuangan

Kemunculan GHF terjadi setelah Israel menuduh beberapa staf UNRWA terlibat dalam serangan 7 Oktober 2023. Akibat tuduhan itu, Israel melarang UNRWA beroperasi di wilayahnya dan memutus kontak dengan badan PBB tersebut.
Tuduhan tersebut mendorong AS dan belasan negara donor lainnya menangguhkan pendanaan mereka untuk UNRWA. Penangguhan ini menciptakan krisis keuangan parah bagi UNRWA, yang merupakan penyedia utama layanan pendidikan, kesehatan, dan sosial bagi jutaan pengungsi Palestina.
UNRWA telah memecat sembilan staf yang dituduh setelah melakukan penyelidikan internal. Namun, sebuah tinjauan independen PBB yang dirilis kemudian menyimpulkan bahwa pemerintah Israel belum memberikan bukti apa pun untuk mendukung tuduhannya tersebut.
Situasi ini membuat masa depan UNRWA berada di ujung tanduk, sementara kebutuhan bantuan kemanusiaan di Gaza semakin mendesak.
"Tanpa dana tambahan, saya mungkin harus mengambil keputusan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang memengaruhi layanan kami kepada pengungsi Palestina di seluruh kawasan. Terganggunya kestabilan UNRWA di wilayah yang semakin bergejolak ini akan membawa konsekuensi besar," ujar Lazzarini.