Pemimpin Militer Uganda Ancam Usir Duta Besar AS

- Kepala Angkatan Pertahanan Uganda mengancam akan mengusir Duta Besar AS untuk Uganda karena dianggap melemahkan pemerintahan Presiden Museveni.
- AS memberlakukan sanksi terhadap empat polisi Uganda atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi.
- Situasi memanas setelah petinggi militer Uganda menuntut maaf atas sikapnya yang tidak diplomatis kepada presiden AS atau akan diusir.
Jakarta, IDN Times - Kepala Angkatan Pertahanan Uganda, Jenderal Muhoozi Kainerugaba, mengancam akan mengusir Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Uganda William Popp. AS dianggap berupaya melemahkan pemerintahan Presiden Yoweri Museveni, yang merupakan ayahnya.
Ancaman petinggi militer yang disampaikan pada Jumat (4/10/2024) itu, dikaitkan dengan sanksi AS minggu ini terhadap empat polisi atas pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk penyiksaan dan perlakuan serta hukuman tidak manusiawi. Sanksi itu membatasi visa perjalanan untuk mengunjungi AS.
1. Jenderal memberi waktu kepada duta besar untuk minta maaf
Kainerugaba dalam unggahannya di X menyampaikan ada konfrotasi serius antara negara dengan Popp. Hal itu karena ia tidak menghormati Museveni dan merusak konstitusi.
Dia meminta diplomat tersebut meminta maaf kepada presiden secara pribadi paling lambat Senin jam 9 pagi atas sikapnya yang tidak diplomatis, jika tidak pemerintah akan mengusirnya.
Putra presiden juga menulis negara tidak memiliki masalah dengan AS yang kami cintai dan kagumi. Namun, akhir-akhir ini telah menemukan banyak bukti negara tersebut bekerja melawan pemerintah.
Staf kedutaan mengatakan terkejut dan tidak mengerti pernyataan itu. Popp mengatakan sedang mencoba menganalisis situasi yang terjadi.
Sewanyana Livingstone, direktur Yayasan Inisiatif Hak Asasi Manusia Uganda, mengatakan Kainerugaba tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan Popp persona non grata kecuali ia diangkat menjadi menteri luar negeri.
“Ia perlu tenang. Ia perlu memahami bahwa Uganda bukanlah dirinya, dan ia juga bukan Uganda. Uganda akan selalu ada. Sanksi bukanlah fungsi seorang duta besar. Sanksi dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri. Jadi, saya pikir ia bahkan menargetkan orang yang salah. Saya pikir rakyat Uganda perlu menegurnya. Sudah saatnya," kata Sewanyana, dikutip dari VOA News.
2. Sanksi yang dijatuhkan AS

Keempat polisi yang disanksi AS adalah Bob Kagarura, mantan Komandan polisi Wamala, Alex Mwine, mantan komandan polisi Mityana, Elly Womanya, mantan komisaris senior dan wakil pemimpin divisi kriminal, dan Hamdani Twesigye, mantan wakil inspektur kepolisian.
Mereka pada April 2020 menggerebek rumah legislator Francis Zaake, menuduhnya melanggar peraturan pembatasan selama COVID-19 terkait tindakannya mendistribusikan makanan ke masyarakat rentan.
Zaake ditangkap dan ditahan di markas besar Intelijen Pertahanan dan Keamanan, tempat ia disiksa sebelum ditinggalkan di rumah sakit. Dia kemudian menggugat keempat petugas tersebut, dan pengadilan memberinya ganti rugi sebesar 20.400 dolar AS (Rp319,6 juta).
Sanksi terbaru ini meningkatkan jumlah pejabat Uganda yang masuk daftar hitam AS, termasuk mantan Inspektur Jenderal Polisi Jenderal Kale Kayihura, Mayor Jenderal Abel Kanduho, dan Johnson Byabashaija, komisaris jenderal dinas penjara.
AS juga memberikan sanksi kepada pemimpin parlemen Anita Among dan suaminya Moses Magogo, Menteri Karamoja Gorret Kitutu, dan Menteri Keuangan Amos Lugolobi.
3. Kasus penyiksaan meningkat

Matthew Miller, juru bicara Departemen Luar Negeri, mengigatkan AS adalah mitra internasional terbesar dan terlama Uganda selama lebih dari 60 tahun. Hampir 1 miliar dolar AS (Rp15,6 triliun) dikeluarkan guna mendukung lembaga dan organisasi untuk meningkatkan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan warga Uganda, dilansir dari The East African.
Dia menyampaikan sanksi sesuai hukum negara yang berkomitmen untuk mendukung keadilan bagi para korban dan akuntabilitas mereka yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di seluruh dunia.
Sebuah laporan yang dirilis bulan lalu oleh Pusat Afrika untuk Perawatan dan Rehabilitasi Korban Penyiksaan (ACTV) mencatat kasus penyiksaan di Uganda meningkat meskipun ada undang-undang melarang.
“Situasinya tidak sebaik yang kita harapkan. Karena baru pertengahan tahun ini, kita telah menangani 903 kasus. Jadi, ini masih menjadi masalah," kata Herbert Sam Nsubuga, direktur eksekutif ACTV.
Pada 2023, pemantau di Uganda mencatat 1.235 kasus penyiksaan, dengan pasukan Pertahanan Rakyat Uganda dan polisi sebagai pelaku utama.