Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Perempuan Gaza Terpaksa Pakai Kain dan Popok Bayi untuk Pembalut

ilustrasi produk menstruasi (unsplash.com/Natracare)

Jakarta, IDN Times - Blokade dan perang yang berkecamuk di Jalur Gaza telah mengakibatkan para perempuan di sana kesulitan mendapatkan pembalut atau produk sanitasi lainnya. Akibatnya, mereka terpaksa menggunakan popok atau potongan kain seadanya selama menstruasi, yang menurut para dokter dapat menimbulkan risiko kesehatan.

Ola Sameh, perempuan 38 tahun, mengatakan bahwa ia awalnya sempat menimbun pembalut. Namun perang berlangsung lebih lama dari yang diperkirakannya, sehingga ia terpaksa menggunakan popok bayi sebagai alternatif.

“Awalnya popok bayi hanya sedikit, tapi saat bantuan masuk ke Gaza saat gencatan senjata, mereka membawa popok, tapi tidak membawa pembalut," kata Sameh kepada The National.

Beberapa perempuan lain memilih menggunakan handuk kecil atau potongan kain seadanya. Namun, kendalanya adalah kurangnya air untuk mencuci.

Menurut ActionAid, beberapa tempat penampungan hanya memiliki satu pancuran untuk setiap 700 orang, dan satu toilet untuk setiap 150 orang.

“Sama sekali tidak ada apa-apa, tidak ada privasi, tidak ada sabun untuk menjaga kebersihan, tidak ada perlengkapan menstruasi,” kata LSM tersebut.

1. Supermarket dan apotek di Gaza kehabisan produk sanitasi untuk perempuan

Supermarket dan apotek di wilayah pesisir Palestina telah kehabisan barang-barang sanitasi penting setelah 10 minggu blokade dan pemboman tanpa henti yang dilakukan oleh tentara Israel.

Pada Minggu (17/12/2023), penyeberangan Kerem Shalom yang menghubungkan Israel dan Gaza kembali dibuka untuk masuknya truk bantuan sejak pecahnya perang pada 7 Oktober. Namun, bantuan yang masuk tidak membawa cukup produk sanitasi.

“Saya memotong pakaian anak saya atau kain apa pun yang saya temukan, dan saya menggunakannya sebagai pembalut saat menstruasi,” ujar Hala Ataya, 25 tahun, di kota Rafah di bagian selatan.

Marie-Aure Perreaut Revial, dari Doctors Without Borders (MSF), mengungkapkan bahwa permintaan pil kontrasepsi telah meningkat empat kali lipat karena perempuan berupaya menunda menstruasi.

Sementara itu, Mahmoud Musalem, yang bekerja di salah satu apotek di pusat Gaza, mengatakan bahwa pil KB dan pembalut perempuan sudah tidak tersedia selama sebulan terakhir. Apoteknya telah mencoba menghubungi pemasok untuk membawa lebih banyak barang, namun mereka mengatakan barang yang diminta tidak tersedia.

2. Lebih dari 690 ribu perempuan di Gaza memiliki akses terbatas terhadap perlengkapan sanitasi

Komite Palang Merah Internasional (ICRC) juga telah mendistribusikan peralatan kebersihan di Gaza tengah, namun jumlah tersebut masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan perempuan di sana.

“Di dalam perlengkapan kebersihan ini, ada pembalut dan barang-barang lainnya, barang-barang yang khusus untuk perempuan. Kami tahu bantuan ini hanyalah bantuan kecil,” kata Stephen Ryan, koordinator penempatan cepat ICRC.

Menurut Dana Kependudukan PBB (UNFPA), lebih dari 690 ribu perempuan di Gaza memiliki akses terbatas terhadap produk-produk menstruasi, ditambah lagi dengan air, kebersihan, dan privasi yang tidak memadai. Hal ini menempatkan mereka pada risiko infeksi reproduksi dan saluran kemih.

“Kami sadar dengan kelangkaan dan kekurangan pembalut perempuan. Kami mendistribusikan pembalut sendiri, tapi sama seperti barang lain yang kami distribusikan, hasilnya hanya setetes air,” kata Tamara Alrifai, juru bicara Badan Pengungsi Palestina PBB (UNRWA).

3. Kurangnya pembalut juga berdampak negatif terhadap psikologis perempuan

Islam Abu Samara, dokter kandungan dan ginekolog di Rumah Sakit Nasser di kota Khan Younis, mengatakan bahwa metode alternatif yang digunakan oleh perempuan di Gaza selama menstruasi berisiko menyebabkan pembekuan darah, pendarahan, atau siklus menstruasi tidak teratur.

“Perempuan datang meminta produk sanitasi karena tidak dapat menemukannya, dan ada pula yang menggunakan cara alternatif, terutama perempuan yang sedang bersalin. Tetapi hal ini dapat berdampak negatif dan mengakibatkan infeksi,” kata Abu Samara.

“Kesulitan mendapatkan akses terhadap air bersih juga dapat meningkatkan infeksi dan penyakit,” tambahnya.

Bissan Aouda, seorang jurnalis dan blogger, mengatakan bahwa kekurangan pembalut di Jalur Gaza telah berdampak negatif terhadap psikologis perempuan.

“Ini membuatnya merasa malu karena dia tidak bisa mengatakan bahwa dia memerlukan pembalut karena, dalam masyarakat kita, topik ini sangat sensitif, dan orang-orang tidak mendiskusikannya secara terbuka,” kata Aouda.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us