Presiden Petahana Aljazair Menang Telak di Pemilu

- Abdelmadjid Tebboune menang telak dalam pemilihan presiden Aljazair dengan 94,7% suara, mengalahkan dua kandidat lainnya.
- Hanya 23,3% pemilih yang menggunakan hak pilihnya, lebih rendah dari pemilu 2019 yang mencapai 39,9%, memicu keraguan dan tantangan hukum.
- Tebboune bersama dua rivalnya mengkritik otoritas pemilu atas hasil yang diumumkan, memicu keraguan dan berisiko menimbulkan tantangan hukum.
Jakarta, IDN Times - Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune dinyatakan sebagai pemenang mutlak dalam pemilihan presiden yang digelar pada Sabtu (7/9/2024). Pada Minggu (8/9/2024), otoritas pemilu Aljazair mengumumkan bahwa Tebboune meraih 94,7 persen suara, mengalahkan telak dua kandidat lainnya.
Namun, kemenangan telak Tebboune dibayangi oleh rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Dilansir Associated Press, dari sekitar 24 juta pemilih terdaftar, hanya 5,6 juta atau 23,3 persen yang menggunakan hak pilihnya. Angka ini lebih rendah dibandingkan pemilu 2019 yang mencapai 39,9 persen.
Mengejutkan banyak pihak, Tebboune bergabung dengan dua rivalnya dalam mengkritik otoritas pemilu atas hasil yang diumumkan. Mereka menuduh adanya ketidakkonsistenan antara angka partisipasi yang diumumkan dengan perhitungan sebelumnya.
1. Tudingan kecurangan mencuat dari kubu oposisi
Hasil pemilu ini memicu keraguan dan berisiko menimbulkan tantangan hukum. Dua kandidat lainnya adalah Abdelali Hassani Cherif dari kubu Islamis moderat yang meraih 3,2 persen suara dan Youcef Aouchiche dari kelompok sekuler moderat dengan 2,2 persen suara. Keduanya turut mempertanyakan hasil pemungutan suara.
Ahmed Sadok, juru bicara kampanye Cherif, melontarkan tudingan keras.
"Ini memalukan. Ini serangan terhadap citra Aljazair, yang akan menjadi bahan tertawaan negara lain," ujarnya.
Sadok juga mengklaim adanya kegagalan dalam menyerahkan catatan penghitungan suara kepada perwakilan kandidat. Lebih jauh, ia menuduh ada tekanan terhadap petugas tempat pemungutan suara untuk menggelembungkan hasil tertentu dan praktik pemungutan suara kelompok.
2. Tebboune menang lagi di tengah ketidakpuasan publik
Tebboune, yang didukung militer, pertama kali terpilih pada 2019 di tengah gelombang protes besar-besaran yang dikenal sebagai gerakan Hirak. Demonstrasi ini berhasil menggulingkan presiden lama Abdelaziz Bouteflika setelah berkuasa selama 20 tahun.
Pemilu 2019 juga memiliki partisipasi rendah karena diboikot secara luas. Saat itu, partisipasi hanya mencapai 40 persen. Meski Tebboune menjanjikan "Aljazair Baru", demonstrasi Hirak terus berlanjut menuntut reformasi yang lebih dalam.
"Mayoritas tidak memilih. Sandiwara pemilu ini adalah kemenangan bagi Hirak," ujar Nassira Amour, seorang guru dan tokoh terkemuka gerakan pro-demokrasi Aljazair.
3. Tantangan ekonomi dan geopolitik menanti Tebboune
Tebboune berjanji melanjutkan program pemerintahannya yang mencakup peningkatan tunjangan pengangguran, pensiun, dan perumahan. Janji ini didukung oleh peningkatan pendapatan energi Aljazair pasca invasi Rusia ke Ukraina pada 2022.
Namun, tantangan ekonomi masih menghadang. Dilansir Reuters, tingkat pengangguran Aljazair masih di atas 12 persen tahun lalu, meski turun dari puncaknya sekitar 14 persen selama pandemi. Inflasi juga masih tinggi, mempersulit kehidupan warga biasa.
Di ranah internasional, Aljazair berupaya menyeimbangkan hubungan dengan Barat dan Rusia. Negara ini gagal bergabung dengan kelompok BRICS saat ekspansi Januari lalu. Meski demikian, Aljazair akhirnya bergabung dengan bank pembangunan BRICS bulan lalu.
Aljazair tetap menjadi kekuatan militer utama di kawasan. Negara ini tampaknya akan mempertahankan sikap tradisionalnya dalam hubungan antara kekuatan Barat dan Rusia.