Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Protes UU Taliban, Perempuan Afghanistan Unggah Video Bernyanyi

ilustrasi mikrofon (pexels.com/@domemod/)
ilustrasi mikrofon (pexels.com/@domemod/)
Intinya sih...
  • Perempuan Afghanistan protes UU Taliban yang melarang suara perempuan di depan umum dengan mengunggah video bernyanyi di media sosial
  • UU baru Taliban melarang perempuan bernyanyi atau membiarkan suara terdengar di luar rumah, serta mewajibkan pakaian tebal menutupi seluruh tubuh mereka
  • Komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia (OHCHR) dan Uni Eropa (UE) mengecam UU tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan menciptakan hambatan terhadap normalisasi hubungan dengan Afghanistan

Jakarta, IDN Times - Perempuan Afghanistan, baik di dalam maupun di luar negeri, mengunggah video mereka bernyanyi di media sosial sebagai bentuk protes terhadap undang-undang (UU) Taliban yang melarang suara perempuan di depan umum.

Akhir bulan lalu, Taliban mengeluarkan peraturan baru yang disebut bertujuan untuk memerangi kejahatan dan mempromosikan kebajikan. UU yang terdiri dari 35 pasal tersebut mencakup serangkaian peraturan ketat, termasuk melarang perempuan bernyanyi atau membiarkan suara mereka terdengar di luar rumah. Menurut Taliban, suara perempuan berisiko memancing tindak kejahatan.

“Tidak ada perintah, sistem, atau laki-laki yang bisa menutup mulut perempuan Afghanistan,” kata seorang perempuan berusia 23 tahun setelah mengunggah videonya, dikutip dari The Guardian.

Video berdurasi 39 detik itu menunjukkan dirinya bernyanyi di luar ruangan. Lagu yang dinyanyikannya berbicara tentang protes dan kekuatan.

“Saya bukanlah pohon willow lemah yang bergetar ditiup angin. Saya dari Afganistan," demikian bunyi liriknya.

1. Berjuang dengan suara

Dalam video lainnya yang direkam di Kabul, terlihat seorang perempuan bernyanyi dengan berpakaian serba hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Kalian telah membungkam suara saya di masa mendatang. Anda telah memenjarakan saya di rumah saya karena kejahatan menjadi seorang perempuan,” katanya dengan bernyanyi.

Video-video lainnya juga menunjukkan perempuan di Afghanistan bernyanyi sendiri atau dalam kelompok kecil, dengan menggunakan tagar seperti “#Suara saya tidak dilarang” dan “#Tidak untuk Taliban”.

Aksi ini kemudian menjalar ke seluruh dunia. Hoda Khamosh, seorang perempuan Afghanistan yang tinggal di Norwegia, turut mengunggah videonya untuk menunjukkan bahwa mereka bukan lah segelintir individu yang dapat dihapuskan dari publik.

“Kami tidak turun ke lapangan dengan membawa senjata, namun dengan suara kami, citra kami,” ujarnya.

2. Perempuan juga diperintahkan untuk mengenakan pakaian yang menutup seluruh tubuh

UU baru Taliban juga mengharuskan para perempuan mengenakan pakaian tebal yang menutupi seluruh tubuh mereka, termasuk wajah, saat berada di depan umum. Selain itu, mereka dilarang melihat langsung ke arah pria yang tidak memiliki hubungan darah atau pernikahan.

Mereka yang melanggar peraturan ini dapat ditahan dan dihukum dengan cara yang dianggap pantas oleh otoritas Taliban.

“Kami tidak lagi mempunyai hak untuk mendengar suara perempuan, atau bahkan melihat sekilas tubuh perempuan. Seolah-olah kami mengatakan kepada mereka: ‘Kami ingin membunuhmu secara perlahan'," kata Chekeba Hachemi, presiden organisasi Free Afghanistan, kepada France 24.

Sejak Taliban kembali berkuasa pada 2021, mereka secara bertahap mengikis hak-hak perempuan dengan dalih menerapkan aturan syariat. Para perempuan dilarang melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah, dilarang melakukan hampir semua bentuk pekerjaan yang berbayar, dan dilarang memasuki taman umum dan pusat kebugaran.

Awal tahun ini, Taliban juga mengumumkan bahwa mereka akan melanjutkan praktik rajam terhadap perempuan yang melakukan perzinahan.

3. PBB minta Taliban segera cabut UU tersebut

Pekan lalu, komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia (OHCHR) mengecam UU tersebut dan mendesak Taliban untuk segera mencabutnya.

“Setelah puluhan tahun perang dan di tengah krisis kemanusiaan yang mengerikan, rakyat Afghanistan berhak mendapatkan yang lebih baik daripada diancam atau dipenjara jika mereka terlambat shalat, melirik lawan jenis yang bukan anggota keluarga, atau memiliki foto orang yang dicintai,” kata Roza Otunbayeva, kepala Misi Bantuan PBB di Afghanistan, dalam sebuah pernyataan pada 25 Agustus.

Uni Eropa (UE) juga menyatakan bahwa UU baru tersebut kembali menciptakan hambatan terhadap normalisasi hubungan dengan Afghanistan. Pihaknya menegaskan bahwa pengakuan Eropa terhadap rezim Taliban hanya dapat dicapai jika Kabul sepenuhnya menghormati kewajiban internasionalnya dan hak-hak terhadap rakyat Afghanistan.

Namun, kecaman internasional tampaknya tidak lagi berpengaruh bagi Taliban.

“Pada tahun pertama setelah pergantian rezim di Afghanistan, situasinya tidak seburuk yang dikhawatirkan orang-orang,” kata Mélissa Cornet, pakar isu gender di Afghanistan, seraya menyatakan bahwa jurnalis masih bekerja dan perempuan masih diizinkan kuliah. 

Menurutnya, Taliban telah memberikan banyak jaminan agar dapat diakui oleh dunia internasinal, dan ada harapan nyata bahwa mereka telah berubah. Namun, optimisme ini hanya berumur pendek.

"Segera setelah Taliban menyadari bahwa mereka tidak akan diakui secara resmi dengan mendapatkan kembali kursi di PBB dan pembekuan aset bank sentral, terjadi perubahan arah. Mereka berkata pada diri mereka sendiri, ‘Jika kami memainkan permainan ini dan tidak mendapat imbalan apa pun, kami akan melakukan apa yang kami inginkan di rumah’," jelasnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us