Rekaman Wawancara Biden Tidak Dirilis karena Bahaya Deepfake AI

- Departemen Kehakiman AS menolak merilis rekaman audio wawancara Biden dengan Robert Hur terkait dokumen rahasia.
- Partai Republik mendesak agar rekaman dirilis ke publik untuk mendukung upaya pemakzulan Biden.
- Rekaman bisa dimanipulasi dengan teknologi deepfake, memicu kampanye disinformasi yang mengancam keamanan publik.
Jakarta, IDN Times - Departemen Kehakiman Amerika Serikat menolak merilis rekaman audio wawancara Presiden Joe Biden dengan penasihat khusus Robert Hur. Wawancara ini terkait penanganan Biden atas dokumen-dokumen rahasia saat menjabat sebagai wakil presiden.
Departemen Kehakiman menyebut kekhawatiran bahwa rekaman bisa dimanipulasi dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) deepfake.
"Jika rekaman audio dirilis, mudah untuk membayangkan rekaman tersebut bisa diubah secara tidak tepat, dan file yang diubah itu bisa dianggap sebagai rekaman asli lalu disebarluaskan," jelas Departemen Kehakiman dilansir dari The Guardian pada Selasa (4/6/2024).
Penolakan ini sontak menuai kritik. Partai Republik mendesak agar rekaman dirilis ke publik, sementara pemerintahan Biden berupaya memblokir perilisan.
1. Rekaman wawancara Biden-Hur picu kritik dari Partai Republik
Wawancara Biden dengan Hur kembali menyulut perdebatan dari kubu Partai Republik. Mereka mempertanyakan kapabilitas Biden sebagai presiden di usianya yang sudah senja.
Laporan Hur memang menyimpulkan tidak ada tindak pidana dari Biden. Namun pernyataan Hur yang menggambarkan sang presiden sebagai "pria tua dengan daya ingat buruk" menjadi amunisi untuk mengkritik Biden.
Partai Republik dan kelompok pendukungnya telah mengambil langkah hukum dan menuntut perilisan rekaman tersebut. Mereka berharap bisa menggunakan rekaman itu untuk mendukung upaya pemakzulan Biden. Namun Biden menggunakan hak istimewa eksekutif untuk mencegah rekaman tersebut dirilis ke publik.
2. Laporan Hur simpulkan Biden simpan dokumen rahasia, tapi tak ada dakwaan
Laporan setebal 388 halaman tersebut memang menemukan bukti bahwa Biden memang dengan sengaja menyimpan dokumen rahasia. Hal ini dilakukannya setelah masa jabatannya sebagai wakil presiden berakhir. Namun, Hur akhirnya memutuskan untuk tidak mendakwa Biden atas temuan ini.
Sementara, DPR AS yang dikuasai Partai Republik bulan lalu meloloskan resolusi untuk mengecam Jaksa Agung Merrick Garland. Hal ini dilakukan karena Merrick menolak merilis rekaman wawancara Biden.
Namun mereka tidak yakin punya cukup suara untuk secara resmi menghukum Garland atas tuduhan penghinaan terhadap Kongres. Hal ini dikarenakan margin kekuatan Partai Republik di DPR hanya tipis.
Melansir dari The Hill, transkripsi lengkap dari wawancara Hur dengan Biden sebenarnya sudah dibagikan ke anggota DPR dari Partai Republik sebelum dengar pendapat Hur di Kongres pada Maret lalu. Departemen Kehakiman bersikukuh tak ada informasi baru yang bisa digali dari rekaman audio tersebut.
3. Kekhawatiran akan bahaya deepfake

Bradley Weinsheimer, pejabat tinggi di Departemen Kehakiman, menjelaskan jika rekaman Biden dirilis, aktor-aktor jahat bisa merekayasanya dengan teknik deepfake untuk menyesatkan publik. Weinsheimer menjabarkan skenario di mana rekaman bisa diedit untuk menghapus pernyataan Biden yang sebenarnya, lalu memasukkan ucapan yang tidak pernah dia katakan.
Kampanye disinformasi menggunakan deepfake bukanlah hal baru dalam politik AS. Baru-baru ini, sebuah robocall (telepon otomatis) yang memanipulasi suara Biden meminta pemilih di New Hampshire memboikot pemilu.
Konsultan politik di balik upaya disinformasi itu kini terancam hukuman penjara dan denda hingga 6 juta dolar AS (Rp97 miliar).