Sudan Disebut Menuju Bencana Kelaparan

Jakarta, IDN Times - Dewan Pengungsi Norwegia (NRC), pada Sabtu (23/11/2024), menyatakan bahwa Sudan saat ini sedang menuju bencana kelaparan, sementara bantuan kemanusiaan yang tiba disebut hanya menunda kematian.
“Kami menghadapi krisis kemanusiaan terbesar di dunia di Sudan, krisis kelaparan terbesar, krisis pengungsian terbesar. Dan, dunia mengabaikannya,” kata ketua NRC, Jan Egeland.
1. Sebanyak 1,5 juta orang berada di ambang bencana kelaparan
Puluhan ribu orang tewas dan lebih dari 11 juta lainnya mengungsi sejak pertempuran sengit antara militer Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pecah pada April 2023. Konflik tersebut juga telah menyebabkan hampir 26 juta orang di Sudan mengalami kelaparan akut.
“Saya bertemu perempuan yang hampir tidak bisa bertahan hidup, hanya makan satu kali makan daun rebus sehari,” kata Egeland, dilansir dari AFP.
NRC, salah satu dari sedikit organisasi yang masih beroperasi di Sudan, menyebut bahwa sekitar 1,5 juta orang di sana berada di ambang bencana kelaparan.
“Kekerasan menghancurkan komunitas jauh lebih cepat daripada bantuan yang bisa kami berikan. Saat kita berjuang untuk mengimbanginya, sumber daya yang kita miliki saat ini hanya menunda kematian, bukan mencegahnya," ungkapnya.
2. Negara Barat kurang peduli pada masalah kemanusiaan global
Egeland mengatakan bahwa dunia kini telah berpaling dari Sudan. Ia membandingkan dengan masa 20 tahun silam, ketika dugaan genosida yang terjadi di wilayah barat Sudan, Darfur, menarik perhatian internasional. Pemerintah Khartoum saat itu mengerahkan milisi suku Arab untuk melawan minoritas non-Arab yang dicurigai mendukung pemberontakan.
“Tidak dapat dipercaya bahwa saat ini kami mempunyai kepentingan yang lebih kecil terhadap krisis di Sudan dibandingkan 20 tahun yang lalu terhadap Darfur, ketika krisis tersebut sebenarnya jauh lebih kecil,” ujar Egeland.
Ketua NRC itu mengatakan, perang Israel di Gaza dan Lebanon serta perang Rusia dengan Ukraina telah dibiarkan menutupi konflik di Sudan. Ia juga menilai bahwa negara-negara Barat semakin fokus pada kepentingan nasional mereka sendiri dan kurang peduli pada masalah kemanusiaan global.
“Hal ini akan menghantui para pemimpin yang berpandangan pendek, ketika mereka yang gagal membantu di tanah air mereka bergabung dengan gelombang pengungsi dan migran yang menuju ke utara," tambahnya.
3. Kelaparan sebagai senjata perang
Ibu kota negara bagian Darfur Utara, El-Fasher, telah dikepung oleh RSF selama berbulan-bulan, menyebabkan semua operasi bantuan di wilayah tersebut hampir lumpuh dan kamp pengungsian Zamzam di dekatnya berada di ambang kelaparan. Sementara itu, di wilayah timur yang dikuasai tentara, kamp, sekolah, dan bangunan umum lainnya dipenuhi oleh pengungsi yang terpaksa bertahan hidup sendiri.
Menurut PBB, kedua pihak menggunakan kelaparan sebagai senjata perang. Pihak berwenang secara rutin menghalangi akses bantuan melalui hambatan birokrasi, sementara RSF mengancam dan menyerang pekerja bantuan.
“Kelaparan yang terus terjadi adalah tragedi yang disebabkan oleh manusia. Setiap penundaan, setiap truk yang diblokir, setiap izin yang tertunda adalah hukuman mati bagi keluarga yang tidak bisa menunggu satu hari lagi untuk mendapatkan makanan, air, dan tempat berlindung,” kata Egeland.
Namun, terlepas dari semua hambatan tersebut, ia yakin bantuan kemanusiaan dapat menjangkau seluruh pelosok Sudan.
"Para pihak yang terlibat konflik ahli dalam menakuti kita, dan kita ahli dalam merasa takut," ujarnya, seraya mendesak PBB dan lembaga lainnya untuk lebih tegas dan menuntut akses bantuan.