Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Trump Janjikan Balas Dendam jika Menang Pemilu AS

ilustrasi bendera Amerika Serikat (unsplash.com/chris robert)

Jakarta, IDN Times - Donald Trump semakin memperkuat kampanye yang dipenuhi janji balas dendam, kritik tajam, dan ancaman terhadap pihak lawan menjelang hari pemilihan.

Pada pidato di Arizona, ia menyebut Amerika Serikat (AS) sebagai tempat sampah dunia dan berjanji akan menindak imigran ilegal serta musuh politiknya yang disebut tidak kompeten.

Sementara retorika balas dendam semakin memanas, Trump terus menuduh kubu Demokrat melakukan kecurangan dalam pemilu sebelumnya dan mengancam hukuman berat bagi siapa saja yang terlibat dalam ketidakadilan tersebut.

1. Janji deportasi besar-besaran

Dalam beberapa pidatonya, Trump berulang kali menyatakan bakal melakukan deportasi besar-besaran jika kembali terpilih. Menurutnya, langkah ini diperlukan untuk mengembalikan keamanan di berbagai kota yang disebutnya telah “dijajah” oleh imigran. Ia juga menyatakan bahwa para kriminal akan dipenjara atau dideportasi.

Seorang analis politik, Laura Benson, menyebut retorika ini sebagai usaha untuk meraih dukungan dari pendukung konservatifnya yang mendukung kebijakan imigrasi ketat. Menurut Benson, janji tersebut juga menjadi pembeda antara Trump dengan pesaingnya yang lebih moderat dalam menangani isu imigrasi.

“Dia memanfaatkan ketakutan terhadap imigran untuk memobilisasi basis pemilihnya,” ujar Benson, dikutip dari NPR.

Pendekatan ini, meskipun kontroversial, tampaknya berhasil menarik perhatian sejumlah pemilih yang khawatir dengan isu keamanan dalam negeri. Namun, kritik terhadap kebijakan ini juga meningkat, mengingat dampaknya pada komunitas imigran dan stabilitas sosial di AS.

2. Serangan terhadap lawan politik dan media

Selain janji deportasi, Trump juga tidak ragu menyerang lawan politik dan media, yang disebutnya sebagai musuh rakyat.

Pada beberapa kesempatan, ia menyebut nama-nama seperti Wakil Presiden Kamala Harris, Presiden Joe Biden, dan Nancy Pelosi, dengan berbagai julukan yang kontroversial. Retorikanya kali ini terlihat semakin tajam dan personal.

“Trump tidak lagi berusaha meraih simpati. Ia fokus pada retorika yang memicu emosi, dengan menjadikan lawan politiknya sebagai musuh bersama yang perlu dilawan oleh para pendukungnya,” ujar pakar komunikasi politik, William Crayton, dilansir dari The Guardian.

Menurut Crayton, strategi ini dapat membangun loyalitas yang kuat, namun berisiko menciptakan polarisasi yang lebih dalam di masyarakat.

Media juga tidak luput dari kritik Trump, yang menganggap mereka sebagai penyebar berita palsu dan agen lawan politiknya. Ia sering menyatakan bahwa media tidak objektif dalam memberitakan isu-isu yang terkait dengan kampanyenya, yang dinilai bisa mempengaruhi persepsi publik terhadap pencalonannya.

3. Kampanye antitrans dan fokus pada isu budaya

Kampanye Trump banyak menghabiskan dana pada iklan antitrans, yang dikatakannya sebagai upaya melindungi nilai-nilai AS.

Menurut data AdImpact, pengeluaran untuk iklan ini mencapai lebih dari 5 kali lipat dibanding iklan yang fokus pada isu ekonomi. Ini menunjukkan perubahan strategi, dengan mengangkat isu budaya sebagai fokus utama kampanye.

Pakar sosial budaya, Emily Green, mengungkapkan bahwa isu budaya menjadi senjata politik yang efektif di kalangan pemilih konservatif. Menurutnya, retorika antitrans dimaksudkan untuk menarik simpati pemilih yang memiliki kekhawatiran terhadap perubahan nilai-nilai sosial.

“Ini adalah strategi yang memanfaatkan perbedaan nilai untuk meraih dukungan politik,” tambah Green.

Namun, kritik terhadap langkah ini juga muncul, terutama dari kelompok hak asasi dan komunitas LGBTQ. Mereka menganggap pendekatan ini sebagai taktik yang menstigma kelompok minoritas, yang dinilai dapat meningkatkan diskriminasi dan kekerasan terhadap komunitas LGBTQ di AS.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sanggar Sukma
EditorSanggar Sukma
Follow Us