Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Trump Tolak Rencana Israel Serang Fasilitas Nuklir Iran

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump. (The White House, Public domain, via Wikimedia Commons)

Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dilaporkan telah menolak rencana Israel menyerang fasilitas nuklir Iran. Trump memilih jalur diplomasi untuk membatasi program nuklir Iran setelah perdebatan panjang di lingkaran kabinetnya.

Menurut laporan NYT, Israel sudah menyiapkan rencana serangan yang membutuhkan bantuan AS. Serangan bertujuan menghambat kemampuan Iran mengembangkan senjata nuklir setidaknya selama satu tahun.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengunjungi Gedung Putih pada 7 April untuk membahas rencana tersebut. Namun, Trump justru mengumumkan dimulainya negosiasi dengan Iran serta memberi tenggat waktu beberapa bulan untuk negosiasi program nuklirnya.

1. Israel berencana membombardir Iran selama seminggu

Melansir Ynet, Israel sangat bergantung pada dukungan militer AS untuk mewujudkan rencananya tersebut. Bantuan AS dibutuhkan untuk melindungi Israel dari serangan balasan Iran dan memastikan serangan ke fasilitas nuklir berjalan sukses.

Awalnya, Israel merencanakan serangan gabungan dari udara dan operasi ke fasilitas nuklir bawah tanah Iran. Namun, pejabat militer Israel memberitahu AS bahwa operasi tersebut baru siap Oktober mendatang, sementara Netanyahu ingin aksi lebih cepat.

Israel kemudian mengubah rencana menjadi pengeboman besar-besaran yang tetap membutuhkan bantuan AS. Serangan ini seharusnya dimulai awal Mei dan berlangsung lebih dari seminggu, diawali dengan penghancuran sistem pertahanan udara Iran.

AS sudah memindahkan berbagai aset militer ke Timur Tengah, termasuk kapal induk Carl Vinson di Laut Arab, dua rudal Patriot, sistem pertahanan THAAD, dan enam bomber B-2 ke pulau Diego Garcia. Pejabat AS mengakui persenjataan tersebut disiapkan untuk menyerang Houthi di Yaman, sekaligus sebagai persiapan mendukung Israel jika konflik dengan Iran terjadi.

2. Penasihat Trump berdebat bahas rencana serangan ke Iran

Para penasihat Trump terbagi dua kelompok saat membahas isu Iran. Satu kelompok ingin serangan militer, kelompok lainnya mendukung dialog diplomasi. Jenderal Michael Kurilla, komandan militer AS di Timur Tengah, dan Michael Waltz, penasihat keamanan nasional, pada awalnya mendukung rencana Israel.

Namun pendapat mereka berubah setelah Tulsi Gabbard, kepala badan intelijen AS, memberikan laporan baru, yang memperingatkan bahwa serangan bisa memicu perang yang lebih besar di Timur Tengah.

Kepala Staf Gedung Putih Susie Wiles, Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, dan Wakil Presiden, JD Vance, juga keberatan dengan rencana serangan tersebut.

Trump memberitahu Israel di awal April bahwa AS tidak akan mendukung rencana serangan tersebut. Setelah Netanyahu berkunjung ke Gedung Putih, Trump mengutus John Ratcliffe, kepala badan intelijen CIA, ke Yerusalem.

Di sana, Ratcliffe bertemu Netanyahu dan David Barnea, pemimpin badan mata-mata Israel (Mossad), untuk membahas cara-cara lain menghadapi Iran.

"Posisi Presiden Trump sudah jelas. Iran tidak boleh punya senjata nuklir dan semua opsi masih terbuka. Presiden mengizinkan dialog langsung dan tidak langsung dengan Iran, namun dia menegaskan bahwa negosiasi ini tidak bisa berlangsung tanpa batas waktu," ucap Brian Hughes, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS.

3. Negosiasi nuklir Iran akan dilanjutkan di Roma

Ilustrasi bendera Iran. (unsplash.com/mostafa meraji)

Setelah sempat menolak, Iran akhirnya bersedia berunding dengan AS, meski tidak secara langsung. Pada 28 Maret 2025, pejabat tinggi Iran mengirim surat yang menyatakan kesediaan pihaknya untuk berbicara melalui perantara.

Perundingan nuklir AS-Iran berikutnya akan berlangsung pada Sabtu (19/4/2025) di Roma, Italia. Oman akan berperan sebagai mediator dalam pembicaraan tersebut.

Rafael Grossi, pemimpin badan nuklir PBB (IAEA), juga sedang berkunjung ke Iran untuk membahas izin pemeriksaan fasilitas nuklir Iran.

Sejak Trump keluar dari perjanjian nuklir 2018, Iran semakin agresif mengembangkan program nuklirnya. Teheran kini memperkaya uranium sampai 60 persen kemurnian, hampir mendekati 90 persen yang dibutuhkan untuk membuat senjata nuklir.

"Program pengayaan uranium Iran adalah hal yang nyata dan telah diterima. Kami siap mendisukusikan kekhawatiran lain, tetapi masalah pengayaan tidak dapat dinegosiasikan," kata Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi, dilansir Times of Israel. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rama
EditorRama
Follow Us