Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Xi Jinping Janji Tak Serang Taiwan selama Trump Berkuasa

Xi Jinping (commons.wikimedia.org/Presidential Executive Office of Russia)
Xi Jinping (commons.wikimedia.org/Presidential Executive Office of Russia)
Intinya sih...
  • Sejarah panjang Taiwan dengan China.
  • AS tetap mendukung Taiwan.
  • Ketidakpastian regional akibat diplomasi Trump.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengungkapkan bahwa Presiden China, Xi Jinping, secara pribadi berjanji tidak akan menyerang Taiwan selama dirinya masih menjabat. Pernyataan ini ia sampaikan dalam wawancara di acara Special Report Fox News ketika berada di pesawat kepresidenan Air Force One pada Jumat (15/8/2025).

Trump saat itu dalam perjalanan menuju Alaska untuk bertemu Presiden Rusia, Vladimir Putin, membahas invasi Moskow ke Ukraina. Dalam wawancara itu, Trump menceritakan percakapannya dengan Xi terkait Taiwan.

“Saya akan memberitahu Anda, Anda tahu, Anda punya situasi yang sangat mirip dengan Presiden Xi dari China dan Taiwan, tapi saya tidak percaya itu akan terjadi selama saya di sini. Kita akan lihat. Dia mengatakan kepada saya, ‘Saya tidak akan pernah melakukannya selama Anda menjadi presiden.’ Presiden Xi mengatakan itu kepada saya, dan saya berkata, ‘Baik, saya menghargai itu,’ tapi dia juga berkata, ‘Tapi saya sangat sabar, dan China sangat sabar.’ Itu terserah Anda, tapi sebaiknya tidak terjadi sekarang,” ujar Trump dikutip The Japan Times.

1. Taiwan punya sejarah panjang dengan China

ilustrasi bendera Taiwan
ilustrasi bendera Taiwan

China memandang Taiwan, pulau demokrasi dengan sekitar 23 juta penduduk, sebagai wilayah yang harus dipersatukan kembali dengan daratan, bahkan dengan kekuatan militer jika diperlukan. Namun, Taiwan menolak klaim tersebut dan menegaskan dirinya sebagai entitas dengan sistem politik yang berbeda. Pandangan ini membuat status Taiwan menjadi isu paling sensitif dalam politik internasional.

Sejak berakhirnya Perang Saudara China pada 1949, pulau itu tetap dikuasai Kuomintang yang anti-komunis, sementara Partai Komunis China berkuasa di daratan. Taiwan kini memiliki pemerintahan demokratis, paspor, mata uang, serta militer sendiri, meskipun hanya sedikit negara yang mengakuinya sebagai negara berdaulat. Kondisi ini membuat Taiwan berada dalam posisi unik di panggung global.

Pada Desember 2024, Xi pernah menyampaikan pandangannya soal penyatuan kembali.

“Tidak ada yang bisa menghentikan tren sejarah penyatuan kembali Taiwan dengan China,” kata Xi, menggambarkan kedua pihak sebagai satu keluarga.

2. AS jaga dukungan bagi Taiwan

Meskipun AS menghentikan hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan pada 1979, negara itu tetap menjadi pemasok utama senjata dan mitra internasional penting bagi Taipei. Washington mengadopsi kebijakan ambiguitas strategis untuk menahan China menyerang, sekaligus menahan Taiwan agar tidak mendeklarasikan kemerdekaan secara resmi. Strategi ini menjadi salah satu pilar stabilitas di kawasan.

Pada Juni 2025, Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, memperingatkan potensi serangan segera dari China dengan laporan bahwa Xi menetapkan batas waktu 2027 untuk menguasai Taiwan.

“Biarkan saya jelaskan: setiap upaya oleh Komunis China untuk menaklukkan Taiwan dengan kekerasan akan menghasilkan konsekuensi yang menghancurkan bagi Indo-Pasifik dan dunia. Tidak ada alasan untuk menyamarkannya. Ancaman yang ditimbulkan China adalah nyata. Dan itu bisa segera terjadi. Kami berharap tidak, tapi pasti bisa terjadi,” ucap Hegseth, dikutip dari Newsweek.

Jika serangan terjadi, AS kemungkinan akan merespons secara militer sehingga membuka peluang konflik langsung dengan China. Dampaknya bisa meluas karena melibatkan dua negara bersenjata nuklir. Berbeda dengan pendahulunya Joe Biden, yang beberapa kali mengisyaratkan AS akan membela Taiwan, Trump pada Februari 2025 memilih bungkam soal arah kebijakannya terhadap kemungkinan serangan militer China.

Dilansir dari Times of India, Kedutaan China di Washington pada Jumat (15/8/2025) menyebut Taiwan sebagai masalah paling penting dan sensitif dalam hubungan bilateral. Perwakilan China mendesak AS agar patuh pada prinsip satu China serta tiga komunike bersama guna menjaga perdamaian di Selat Taiwan.

3. Diplomasi Trump dan ketidakpastian regional

Trump tidak merinci kapan Xi menyampaikan jaminan soal Taiwan. Namun, kedua pemimpin diketahui melakukan panggilan telepon pertama pada masa jabatan kedua Trump pada Juni 2025. Sebelumnya, Trump juga sempat menyebut Xi pernah menghubunginya pada April 2025 tanpa memberikan detail waktu.

Belakangan, Trump memicu keresahan di Taipei setelah dilaporkan meminta Presiden Taiwan, Lai Ching-te, membatalkan kunjungan transit ke AS pada Agustus 2025. Permintaan itu berbeda dengan sikap pemerintahan Biden yang mengizinkan kunjungan serupa oleh eks Presiden Taiwan Tsai Ing-wen pada 2023. Selain itu, pemerintahan Trump dikabarkan menekan sekutunya, termasuk Jepang, agar lebih tegas soal potensi konflik Taiwan.

Hingga kini, belum ada kepastian apakah China akan menggunakan invasi atau blokade untuk menaklukkan Taiwan. Begitu juga dengan respons AS, masih belum jelas apakah Washington akan terlibat secara langsung jika konflik pecah. Situasi ini membuat ketegangan di kawasan terus meningkat dan penuh ketidakpastian.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us