5 Alasan Orang Bersikukuh Gak Mau Ubah Pemikirannya

- Keyakinan yang dipegang teguh seringkali tidak sejalan dengan realitas atau informasi baru
- Ketidaknyamanan mental muncul saat seseorang dihadapkan pada informasi yang bertentangan dengan keyakinannya
- Manusia cenderung mencari informasi yang mendukung keyakinannya dan mengabaikan yang bertentangan
Keyakinan yang dipegang teguh oleh individu seringkali menjadi bagian integral dari identitas dan pandangan hidup mereka. Namun, ada kalanya keyakinan tersebut tidak sejalan dengan realitas atau informasi baru yang muncul. Meskipun demikian, banyak orang tetap enggan untuk mempertanyakan atau merevisi keyakinan mereka.
Disclaimer: Artikel ini tidak bermaksud menyinggung agama atau keyakinan tertentu. Tujuannya adalah untuk memahami faktor psikologis yang membuat seseorang sulit mempertanyakan keyakinannya, agar kita lebih waspada terhadap manipulasi informasi.
1. Dissonansi kognitif

Ketika seseorang menghadapi informasi yang bertentangan dengan keyakinannya, mereka merasakan ketidaknyamanan mental. Untuk mengurangi rasa tidak nyaman ini, mereka cenderung menolak atau merasionalisasi informasi tersebut. Alih-alih mempertimbangkan kebenaran baru, mereka lebih memilih mempertahankan keyakinan lama. Hal ini terjadi karena mengubah keyakinan bisa mengancam identitas diri mereka. Akibatnya, mereka tetap bertahan pada pemikiran lama meskipun bukti yang ada menunjukkan sebaliknya.
2. Bias konfirmasi

Manusia cenderung mencari informasi yang mendukung keyakinannya dan mengabaikan yang bertentangan. Mereka lebih mudah percaya pada sumber yang sejalan dengan pandangan mereka. Informasi yang tidak sesuai sering kali ditolak tanpa dianalisis lebih lanjut. Akibatnya, mereka hidup dalam "gelembung informasi" yang memperkuat keyakinan mereka. Sikap ini membuat seseorang semakin sulit untuk melihat perspektif lain secara objektif.
3. Efek backfire

Alih-alih mengubah pikirannya, seseorang bisa semakin yakin pada keyakinannya saat diberi bukti yang bertentangan. Mereka merasa keyakinannya sedang diserang dan akan membela diri dengan mencari argumen yang memperkuat pendapatnya. Semakin keras seseorang mencoba meyakinkan mereka, semakin mereka menolak. Ini membuat dialog menjadi sulit dan memperkuat polarisasi. Efek ini sering terjadi dalam diskusi seputar politik, agama, dan ideologi.
4. Pengaruh sosial dan kelompok

Keyakinan seseorang sering kali terbentuk dalam lingkungan sosial tertentu. Mereka takut mempertanyakan keyakinan mereka karena khawatir dikucilkan oleh komunitasnya. Kelompok memberikan rasa aman, dan mempertanyakan keyakinan bisa berarti kehilangan dukungan sosial. Hal ini memperkuat pemikiran kelompok yang sulit ditembus oleh pandangan dari luar. Akibatnya, seseorang lebih memilih tetap setia pada keyakinannya daripada menghadapi risiko sosial.
5. Otoritas dan dogma

Banyak orang menerima suatu keyakinan karena berasal dari figur otoritas atau ajaran yang dianggap sakral. Jika mereka diajarkan sejak kecil bahwa mempertanyakan keyakinan adalah hal yang salah, mereka akan menghindarinya. Otoritas yang kuat dapat menciptakan rasa takut dan kepatuhan buta. Mereka tidak ingin dianggap sebagai pembangkang atau orang yang sesat. Akibatnya, mereka menerima segala ajaran tanpa mempertanyakan kebenarannya.
Memahami faktor-faktor psikologis yang membuat seseorang enggan mempertanyakan keyakinannya dapat membantu dalam mengembangkan pendekatan yang lebih efektif untuk mendorong pemikiran kritis dan keterbukaan terhadap informasi baru. Dengan kesadaran akan bias dan mekanisme pertahanan diri ini, individu dapat lebih reflektif dan adaptif dalam menghadapi perubahan dan perkembangan pengetahuan.
Referensi:
Adorno, T. W., Frenkel-Brunswik, E., Levinson, D. J., & Sanford, R. N. (1950). The Authoritarian Personality. New York: Harper & Brothers. Diakses Februari 2025.
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). "An Integrative Theory of Intergroup Conflict". The Social Psychology of Intergroup Relations, 33-47. Diakses Februari 2025.
Hart, T. (1994). "Spirituality and Mental Health: A Call for Critical Reflection". Advances in Mind-Body Medicine, 10(3), 92-105. Diakses Februari 2025.
Dollahite, D. C. (1998). "Fathering, Faith, and Spirituality". The Journal of Men's Studies, 7(1), 3-15. Diakses Februari 2025.
James, W. (1902). The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature. New York: Longmans, Green & Co. Diakses Februari 2025.
Shafranske, E. P., & Gorsuch, R. L. (1984). "Factors Associated with the Perception of Spirituality in Psychotherapy". Journal of Transpersonal Psychology, 16(2), 231-241. Diakses Februari 2025.
Benner, D. G. (1989). Toward a Psychology of Spirituality: Implications for Personality and Psychotherapy. Grand Rapids, MI: Baker Book House. Diakses Februari 2025.
Vaughan, F. (1991). Spiritual Issues in Psychotherapy. Journal of Transpersonal Psychology, 23(2), 105-119. Diakses Februari 2025.