Alasan Mengapa Barang Mewah Tak Lagi Menarik bagi Kaum Tajir di 2025

- Penurunan minat kelas atas terhadap brand besar seperti LVMH dan Kering Group
- Tren penurunan penjualan barang mewah tidak hanya terjadi di beberapa brand tertentu, tetapi menyebar luas ke berbagai pasar utama
- Kebijakan tarif dari pemerintahan Donald Trump mempengaruhi perilaku beli konsumen AS terhadap produk mewah Eropa dan Swiss
Birkin indicator kini menjadi salah satu tolok ukur penting untuk mengukur permintaan dan nilai jual kembali tas Hermès Birkin—ikon status yang terkenal karena desain klasik dan pengerjaan handmade yang sangat eksklusif. Indikator ini sering dipakai untuk membaca kondisi pasar barang mewah dan kemampuan belanja para konglomerat. Menariknya, meski dunia dihantam pandemik, penjualan Birkin justru mencetak rekor, sebagaimana dilaporkan CNN.
Namun, tren tersebut mulai berubah. Seiring harga tas mewah terus naik, berbagai riset, termasuk studi dari The Independents yang dikutip oleh CPP Luxury, memprediksi pasar luxury bags atau tas mewah akan melemah sebelum 2027. Konsumen kelas atas diperkirakan beralih ke aset mewah lain seperti perhiasan premium, jam tangan kolektor, karya seni, serta layanan hospitality eksklusif yang menawarkan pengalaman bernilai tambah.
Para orang kaya dikenal sangat mempertimbangkan nilai investasi. Ketika sebuah produk tidak lagi memberikan potensi keuntungan atau mengalami kenaikan harga yang tidak sepadan, mereka cepat beralih. Ditambah lagi, biaya hidup mereka, seperti biaya sekolah elite, volatilitas pasar saham dan perawatan properti multimiliar, membuat mereka semakin selektif dalam membelanjakan uangnya.
Dilansir GOBankingRates, berikut beberapa barang mewah yang dulunya sangat digemari, namun kini mulai ditinggalkan para konglomerat pada 2025.
1. Produk LVMH

Perusahaan mode raksasa LVMH milik Bernard Arnault, yang menaungi lebih dari 75 brand seperti Dior, Louis Vuitton, Tiffany & Co., hingga Bulgari, sedang mengalami perlambatan penjualan sejak masa pascapandemik.
Menurut laporan DW, per Juli 2024, profit LVMH turun 15 persen menjadi 10,5 miliar dolar AS. Penurunan ini menunjukkan minat masyarakat kelas atas terhadap brand besar tidak setinggi sebelumnya.
2. Kering Group

Tak hanya LVMH, grup fashion Kering selaku pemilik Gucci, Yves Saint Laurent, dan Bottega Veneta, juga menghadapi penurunan penjualan signifikan yang berlangsung lebih lama dari perkiraan analis. Dalam artikel New York Times pada 2024, Katharine K. Zarella dari Wall Street Journal menyoroti, setelah bertahun-tahun mencatat pertumbuhan yang nyaris tanpa henti, kini sektor luxury sedang merosot secara global.
DW turut mengonfirmasi, tren penurunan ini tidak hanya terjadi di beberapa brand tertentu, tetapi menyebar luas ke berbagai pasar utama, mulai dari Amerika Serikat hingga Asia, menunjukkan adanya perubahan besar dalam perilaku konsumsi kelas atas.
3. Barang mewah Eropa dan Swiss

Salah satu faktor eksternal yang memperparah situasi luxury market Eropa adalah kebijakan tarif dari pemerintahan Donald Trump. Tarif impor sebesar 15 persen untuk produk Eropa dan 39 persen untuk barang Swiss yang masuk ke Amerika telah mempengaruhi perilaku beli konsumen AS.
Banyak produk mewah, mulai dari tas Italia dan Prancis hingga jam tangan Swiss premium seperti Audemars Piguet, kini menjadi jauh lebih mahal bagi pasar Amerika, sehingga permintaan ikut menurun.
Perubahan ekonomi global dan pergeseran prioritas investasi membuat selera belanja para miliuner di 2025 berubah drastis. Barang mewah yang dulu dianggap aset prestisius kini tidak selalu menawarkan nilai yang layak, terutama ketika harga melonjak dan pasar menjadi lebih tidak stabil. Kelas kaya kini lebih memilih produk atau pengalaman yang tidak hanya mewah, tetapi juga memberikan nilai investasi jangka panjang.

.jpg)
















