Efek Pelemahan Rupiah, Utang Luar Negeri RI Naik Jadi Rp7.038,2 Triliun

- Posisi ULN pemerintah per April tembus Rp3.403 triliun, tumbuh 10,4 persen yoy
- ULN Swasta terkontraksi 0,6 persen pada April 2025, dengan posisi senilai Rp3.174,26 triliun
Jakarta, IDN Times - Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada April 2025 mencapai 431,5 miliar dolar AS atau setara dengan Rp7.038,26 triliun (asumsi kurs Rp16.304 per dolar AS).
Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso menyampaikan, jumlah tersebut tumbuh sebesar 8,2 persen secara tahunan (year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada Maret 2025 sebesar 6,4 persen.
“Perkembangan posisi ULN April 2025 tersebut bersumber dari sektor publik. Kenaikan posisi ULN juga dipengaruhi oleh pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global,” ujar Ramdan dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (16/6/2025).
1. Posisi ULN pemerintah per April tembus Rp3.403 triliun

Posisi ULN pemerintah pada April 2025 tercatat sebesar 208,8 miliar dolar AS atau setara Rp3.403,32 triliun. Angka ini tumbuh 10,4 persen yoy, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan 7,6 persen yoy pada Maret 2025.
Perkembangan ULN tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya penarikan pinjaman serta bertambahnya arus modal asing ke dalam Surat Berharga Negara (SBN) domestik. Kondisi ini mencerminkan kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi Indonesia yang dinilai tetap solid, meski tekanan di pasar keuangan global masih tinggi.
“Pemerintah menegaskan komitmennya untuk menjaga kredibilitas melalui pengelolaan ULN yang berhati-hati, terukur, dan akuntabel,” kata Ramdan.
Menurut dia, sebagai bagian dari instrumen pembiayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penggunaan utang luar negeri diarahkan untuk mendukung laju pertumbuhan ekonomi, dengan tetap menjaga prinsip keberlanjutan dalam pengelolaannya.
Berdasarkan sektor ekonomi, ULN pemerintah dimanfaatkan antara lain untuk mendukung:
Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial sebesar 22,3 persen dari total ULN pemerintah,
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib sebesar 18,7 persen,
Jasa Pendidikan sebesar 16,4 persen,
Konstruksi sebesar 12,0 persen,
Transportasi dan Pergudangan sebesar 8,7 persen.
Posisi ULN pemerintah tetap terjaga karena didominasi oleh utang jangka panjang, dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah.
2. ULN Swasta terkontraksi 0,6 persen

Sementara itu, ULN swasta mencatat kontraksi pertumbuhan sebesar 0,6 persen yoy pada April 2025, dengan posisi senilai 194,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp3.174,26 triliun. Kontraksi ini lebih rendah dibandingkan kontraksi bulan sebelumnya sebesar 1,0 persen yoy.
Perkembangan ini terutama didorong oleh ULN lembaga keuangan (financial corporations) yang tumbuh sebesar 2,9 persen yoy, setelah sebelumnya terkontraksi 2,2 persen yoy pada Maret 2025.
Berdasarkan sektor ekonomi, ULN swasta terbesar berasal dari:
Industri Pengolahan,
Jasa Keuangan dan Asuransi,
Pengadaan Listrik dan Gas,
Pertambangan dan Penggalian,
Dengan total kontribusi mencapai 80,0 persen dari keseluruhan ULN swasta. ULN swasta juga didominasi oleh utang jangka panjang, dengan pangsa sebesar 76,9 persen.
3. Struktur ULN Indonesia dipastikan tetap sehat dengan prinsip kehati-hatian

Ramdan menyatakan, struktur ULN Indonesia saat ini tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Hal ini tercermin dari penurunan rasio ULN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang menjadi 30,3 persen pada April 2025, turun dari 30,6 persen pada Maret 2025. Selain itu, struktur ULN masih didominasi oleh utang jangka panjang yang mencapai 85,1 persen dari total keseluruhan.
“Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan Pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN,” kata Ramdan.
Ia menambahkan peran ULN akan terus dimaksimalkan guna mendukung pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Optimalisasi ini dilakukan dengan pengelolaan risiko yang cermat agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi.