Menkeu Wanti-Wanti soal Kebijakan Ekonomi Prabowo

- Era SBY menggerakkan sektor swasta dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen, didukung oleh kebijakan moneter yang mendorong perbankan menyalurkan kredit ke sektor swasta.
- Kritik untuk kebijakan ekonomi Jokowi yang lebih bertumpu pada sisi fiskal melalui pembangunan infrastruktur, namun dari sisi moneter tidak ada dorongan ekspansi likuiditas.
Jakarta, IDN Times – Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa, menilai kebijakan ekonomi Presiden Prabowo Subianto berpotensi lebih buruk dibandingkan era dua Presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko "Jokowi" Widodo, apabila tidak mampu mendorong perputaran uang yang lebih besar di sektor swasta (privat).
Dia menegaskan perlunya akselerasi belanja serta dorongan terhadap perputaran uang melalui kebijakan fiskal dan moneter.
“Zaman Pak Prabowo bisa sama. Ini sekarang masih baru. Kalau pemerintahnya masih lambat belanja, mencekik perekonomian dari sisi lain, dan moneternya juga sama, maka akan lebih buruk dibandingkan dua zaman sebelumnya,” kata Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (10/9/2025).
1. Era SBY menggerakkan sektor swasta
Purbaya mengatakan, pertumbuhan ekonomi pada era SBY rata-rata mencapai 6 persen. Hal ini didukung oleh kebijakan moneter yang mendorong perbankan menyalurkan kredit ke sektor swasta sehingga perputaran uang di masyarakat lebih terjamin.
“Zaman Pak SBY rata-rata M0 (uang likuid yang beredar di masyarakat) tumbuh lebih dari 17 persen. Akibatnya, uang di sistem cukup dan kredit tumbuh 22 persen. Jadi, walaupun SBY tidak membangun infrastruktur secara masif, sektor swasta yang hidup dan menjalankan ekonomi. Itu juga berhubungan dengan tax ratio, karena saat sektor swasta berjalan, kontribusi pajaknya lebih besar dibandingkan pemerintah,” katPurbaya.
Menurut dia, kontribusi sektor swasta membuat rasio pajak di era SBY lebih tinggi 0,5 persen dibandingkan masa pemerintahan Jokowi.
2. Kritik untuk kebijakan ekonomi Jokowi

Sementara itu, pada masa pemerintahan Jokowi, Purbaya menilai kebijakan ekonomi lebih bertumpu pada sisi fiskal melalui pembangunan infrastruktur.
Namun, dari sisi moneter tidak ada dorongan ekspansi likuiditas. Dia mencatat, pertumbuhan M0 pada era Jokowi hanya sekitar 7 persen, bahkan sempat 0 persen dua tahun sebelum krisis pandemik COVID-19.
“Mesin ekonomi waktu itu pincang, hanya pemerintah yang jalan sementara swasta berhenti atau melambat. Saya kaget ketika tahun 2020 diminta membantu di LPS. Pak, kenapa begini? Bapak bangun LPS mati-matian punggak bisa, karena mesin ekonomi kita pincang, 90 persen swasta berhenti atau diperlambat,” ujar dia.
3. Janji hidupkan fiskal dan moneter untuk dorong ekonomi

Oleh karena itu, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, Purbaya berjanji akan menghidupkan perekonomian dengan mengoptimalkan dua mesin sekaligus, yakni fiskal dan moneter.
Dari sisi fiskal, pemerintah akan mempercepat belanja, sementara dari sisi moneter akan memastikan adanya suntikan likuiditas ke sistem perbankan.
“Saya mohon restu dari parlemen untuk menjalankan tugas itu,” kata dia.
Sebagai Bendahara Negara yang baru, Purbaya menegaskan salah satu langkah awalnya adalah menyuntik sistem keuangan nasional dengan dana pemerintah yang saat ini tersimpan di Bank Indonesia (BI).
“Saya sudah lapor ke Presiden. Saya bilang, ‘Pak, saya akan taruh uang ke sistem perekonomian.’ Berapa? Sekarang saya punya (Rp430) triliun di BI, cash. Besok saya taruh Rp200 triliun,” ucap dia.