"What is an ACL injury and what does it mean for players?". BBC. Diakses Oktober 2025.
"Why Women Have More ACL Injuries Than Men". NM. Diakses Oktober 2025.
The female ACL: Why is it more prone to injury?. (2016). Journal of orthopaedics, 13(2), A1–A4.
"Why women athletes face higher ACL injury risk than men, according to a sports physician". NPR. Diakses Oktober 2025.
Mengapa Perempuan Lebih Rentan Cedera ACL Ketimbang Laki-laki?

Anterior cruciate ligament (ACL) merupakan salah satu jenis cedera lutut paling serius. Meskipun dialami semua jenis kelamin, perempuan ternyata memiliki risiko 2–8 kali lebih tinggi mengalami cedera ACL dibandingkan laki-laki. Fenomena ini telah menjadi perhatian serius dalam dunia olahraga dan kesehatan, terutama mengingat dampaknya yang dapat menghentikan karier atlet secara tiba-tiba.
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus cedera ACL terhadap atlet perempuan terus meningkat seiring dengan meningkatnya partisipasi mereka dalam olahraga kompetitif. Nama-nama atlet perempuan terkenal, seperti Sam Kerr, Beth Mead, hingga JuJu Watkins pernah mengalami cedera ini dan terpaksa absen panjang dari arena. Selain intensitas kompetisi, peningkatan cedera ACL bagi perempuan juga dipengaruhi kerentanan biologis dan sistemik yang perlu dikaji.
1. Perbedaan anatomi dan biomekanik jadi faktor perempuan rentan cedera ACL

Perempuan memiliki struktur anatomi lutut yang secara alami berbeda dibandingkan laki-laki. Salah satu perbedaan utama terletak pada ketebalan jaringan ACL itu sendiri. Menurut dr. Vehniah Tjong dari Northwestern Medicine, perempuan memiliki jaringan ACL yang lebih tipis, sehingga lebih rentan robek ketika menerima tekanan besar atau pergerakan mendadak.
Selain itu, proporsi tubuh perempuan juga berkontribusi terhadap tingginya risiko ini. Perempuan cenderung memiliki pinggul yang lebih lebar, sehingga membentuk sudut Q yang lebih besar, yaitu sudut antara tulang paha dan lutut. Sudut tersebut menyebabkan posisi lutut menjadi lebih condong ke dalam saat perempuan mendarat atau berputar. Hal ini meningkatkan tekanan pada ACL serta potensi cedera.
Secara biomekanik, perbedaan pola gerak antara perempuan dan laki-laki juga memegang peran penting. Perempuan cenderung mendarat dengan posisi lutut lurus dan tubuh lebih tegak, berbeda dengan laki-laki yang lebih banyak membungkuk dan menekuk lutut saat mendarat. Kurangnya aktivasi otot inti dan otot pinggul dalam pola mendarat perempuan turut memperlemah stabilitas lutut. Ini terjadi ketika melakukan gerakan eksplosif seperti melompat atau melakukan perubahan arah secara mendadak.
Terlebih lagi, dominasi otot quadriceps dibandingkan hamstring perempuan juga memperbesar risiko cedera ACL. Saat terjadi pergerakan cepat, otot quadriceps yang aktif lebih dulu justru dapat menarik tulang kering ke depan yang memberikan tekanan tambahan pada ACL. Jika otot hamstring merespons gerakan terlalu lambat, lutut jadi kurang mampu menahan tekanan atau gaya yang datang.
2. Hormon perempuan yang lebih fluktuatif juga memengaruhi risiko cedera ACL

Faktor hormonal juga terbukti memengaruhi kerentanan perempuan terhadap cedera ACL. Hormon-hormon seperti estrogen dan relaksin diketahui memengaruhi elastisitas jaringan ikat di seluruh tubuh, termasuk ligamen lutut. Pada fase ovulasi dalam siklus menstruasi, kadar hormon-hormon ini meningkat dan menyebabkan ligamen menjadi lebih longgar, sehingga lebih mudah robek saat terkena tekanan atau rotasi.
Sebuah studi oleh Wojtys et al. (1998) menyebutkan, cedera ACL lebih banyak terjadi pada fase ovulasi dibandingkan fase lain dalam siklus menstruasi. Saat itu, kadar estrogen dalam tubuh perempuan berada pada puncaknya. Hal ini turut menyebabkan penurunan stabilitas struktur ligamen. Walaupun beberapa data awal sempat diragukan secara statistik, penelitian lanjutan yang lebih luas menunjukkan polanya tetap konsisten.
Namun, hingga saat ini belum ada konsensus tunggal dalam komunitas ilmiah mengenai pengaruh pasti hormon terhadap kekuatan ACL. Meskipun demikian, sebagian besar pakar berpendapat, fluktuasi hormon selama siklus menstruasi berperan penting dalam meningkatkan risiko cedera. Ini terutama berlaku bagi atlet perempuan yang menjalani latihan atau kompetisi berat ketika kadar hormon mereka kurang stabil.
3. Perawatan cedera ACL terhadap atlet perempuan masih kurang memadai

Risiko perempuan terhadap cedera ACL tidak hanya berasal dari faktor biologis, tetapi juga dipengaruhi aspek pelatihan dan sistem pendukung. Banyak atlet perempuan, terutama pada usia muda, tidak mendapatkan pelatihan yang memadai dalam hal kekuatan inti, keseimbangan tubuh, dan propriosepsi (kemampuan tubuh untuk merasakan posisi dan gerakan sendi). Ini kontras dengan atlet laki-laki yang lebih sering mendapatkan pelatihan spesifik untuk memperkuat kontrol gerak tubuh.
Di tingkat profesional, ketimpangan ini masih terus berlanjut. Meskipun kompetisi sepak bola seperti Women's Super League (WSL) memiliki intensitas yang makin tinggi, dukungan medis dan fasilitas pelatihan untuk tim putri belum setara dengan tim pria. Ini menandakan banyak klub putri belum memiliki akses ke program pencegahan cedera yang komprehensif dan bukti ilmiah. Kurangnya pendampingan dari pelatih fisik spesialis juga memperparah risiko cedera terhadap pemain.
Program pencegahan cedera seperti FIFA 11+ telah terbukti secara ilmiah dapat menurunkan risiko cedera ACL hingga 50 persen. Program ini mencakup latihan pemanasan khusus yang menekankan kekuatan, kelincahan, teknik pendaratan yang benar, serta kestabilan pinggul dan lutut. Namun, adopsi program ini di kalangan atlet perempuan masih belum merata dan belum menjadi bagian dari pelatihan rutin di banyak klub dan akademi.
Faktor lain yang turut meningkatkan efek cedera ACL adalah keletihan, terutama pada akhir musim kompetisi. Ketika tubuh dalam kondisi lelah, kemampuan otot untuk merespons dengan cepat menurun. Koordinasi gerak dan stabilitas sendi pun terganggu. Ini membuat cedera lebih mungkin terjadi saat melakukan manuver berisiko tinggi seperti berhenti mendadak atau mengubah arah dengan cepat.
Perempuan lebih rentan mengalami cedera ACL dibandingkan laki-laki karena kombinasi faktor biologis dan sistemik. Untuk menurunkan angka cedera ACL terhadap atlet perempuan, diperlukan pendekatan menyeluruh yang mencakup pelatihan fisik yang tepat, pemahaman siklus hormonal, dan dukungan institusional yang setara. Edukasi dini dan program pencegahan berbasis bukti ilmiah dapat menjadi langkah awal dalam membangun sistem olahraga yang lebih inklusif.
Referensi