3 Hakim MK Sebut Jokowi Cawe-Cawe, Budi Arie: Gak Usah Asumsi Lagi

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menyatakan di dalam sidang putusan bahwa Presiden Joko "Jokowi" Widodo tidak ikut cawe-cawe di dalam Pemilu 2024. Pernyataan itu disampaikan oleh lima dari delapan hakim MK. Sisanya, tiga hakim MK lainnya menyatakan perbedaan pendapat. Hal ini membuat putusan MK terbelah.
Meski begitu, dalam pandangan Ketua Relawan Pro Jokowi (Projo), Budi Arie Setiadi, perbedaan sikap dari tiga hakim MK tak akan mengubah persepsi apapun. Sehingga seharusnya sudah tidak ada lagi asumsi lain yang berkembang.
Ketiga hakim MK justru menyatakan telah terjadi politisasi bansos yang mendongkrak elektabilitas paslon Prabowo-Gibran. Maka, ketiganya menyatakan MK seharusnya melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di sejumlah provinsi di Indonesia. Tiga hakim yang dimaksud yaitu Enny Nurbaningsih, Saldi Isra dan Arief Hidayat.
"Itu dinamika, gak ada masalah. MK kan sudah memutuskan Senin kemarin. Jangan berasumsi lagi. Bahwa ada yang berpendapat demikian ya silakan, tapi MK kan sudah memutuskan tidak terjadi politisasi bansos, tidak ada buktinya," ujar Budi ketika ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (23/4/2024).
"Perlu diingat putusan MK sudah bersifat final dan mengikat. Tidak ada bukti bahwa Presiden mempolitisasi bansos, cawe-cawe, hingga penyalahgunaan jabatan. Semua tuduhan itu gak terbukti," kata dia lagi.
1. Jokowi dan Gibran tak masalah dianggap bukan kader PDIP lagi

Lebih lanjut, menurut Budi, Jokowi dan Gibran tak mempermasalahkan bila keduanya sudah tak lagi dianggap sebagai kader PDIP. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu diketahui belum mengembalikan Kartu Tanda Anggota (KTA) PDIP.
"Kami menilainya itu sikap PDIP sebagai partai politik. Kalau Pak Jokowi dan Pak Gibran sih (bersikap) asyik-asyik aja," kata dia.
Pernyataan bahwa Jokowi dan Gibran sudah bukan lagi kader PDIP disampaikan oleh Ketua Bidang Kehormatan DPP PDIP, Komarudin Watubun. PDIP menganggap keduanya sudah bukan lagi kader usai ayah dan anak itu tak mematuhi kebijakan partai.
"Ah orang sudah di sebelah sana bagaimana mau dibilang masih bagian dari PDI Perjuangan, yang benar saja," ujar Komarudin pada Senin kemarin.
"Gibran itu sudah bukan kader partai lagi, saya sudah bilang sejak dia ambil putusan itu (jadi cawapres Prabowo)," tutur dia lagi.
2. Jokowi nilai putusan MK nyatakan tidak ada politisasi bansos saat pemilu

Sementara, Jokowi mengatakan bahwa putusan MK yang dibacakan pada Senin kemarin menjadi pernyataan yang tegas bahwa tidak ada politisasi bansos dalam pemilu 2024. Tuduhan itu, kata Jokowi, tidak didasari bukti-bukti yang kuat.
"Tuduhan-tuduhan kepada pemerintah, seperti kecurangan, intervensi aparat, kemudian politisasi bansos, kemudian mobilisasi aparat, ketidaknetralan kepala daerah, telah dinyatakan tidak terbukti. Ini yang penting bagi pemerintah," ujar Jokowi di Sulawesi Barat pada Selasa (23/4/2024).
Lebih lanjut, Jokowi juga meminta agar momentum ini menjadi faktor pendorong persatuan bagi semua pihak. Sebab, menurutnya saat ini faktor eksternal geopolitik betul-betul menekan ke seluruh negara, sehingga Bangsa Indonesia harus tetap bersatu, bekerja, dan membangun negara.
"Dan pemerintah mendukung proses transisi dari pemerintahan sekarang ke nanti pemerintahan baru. Akan kami siapkan karena sekarang MK sudah (putusan), tinggal nanti penetapan oleh KPU besok ya," kata dia.
3. Pakar hukum tata negara nilai putusan MK tidak terjadi nepotisme sulit dipercaya

Sementara, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas (Unand), Feri Amsari justru tertawa lantaran mendengar putusan hakim konstitusi yang menyatakan tidak ada nepotisme dari pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden. Menurutnya tidak sulit untuk membuktikan bahwa telah terjadi praktik nepotisme dalam pemilihan RI-2.
"Satu bapaknya presiden aktif tiba-tiba anaknya maju (jadi cawapres). Lalu, dibantu (praktik) gentong babi. Pamannya yang membuat jalannya terbuka. Kurang nepotisme apa lagi?" tanya Feri kepada media di Jakarta pada hari ini.
Ia menduga MK takut karena yang membuka pintu nepotisme adalah bagi dari lembaga itu sendiri. Sosok yang dimaksud oleh Feri adalah Anwar Usman. Anwar merupakan paman Gibran dan dulu menjabat sebagai Ketua MK.
"Itu kan terang benderang (nepotisme). Lebih terang dari cahaya! Bagi saya MK sedang membangun sesuatu yang tidak masuk akal yang semua orang tahu," tutur dia.
Ia menambahkan, bukan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa sudah terjadi praktik nepotisme. Melainkan, bukti-buktinya ditolak dan diabaikan.
"Jadi, bukti-bukti itu pura-pura tidak dilihat," ujarnya lagi.