Adik Jusuf Kalla Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Proyek PLTU Kalbar

- Adik Jusuf Kalla, Halim Kalla, ditetapkan sebagai tersangka korupsi proyek PLTU Kalbar.
- Kakortastipidkor Polri menetapkan tiga tersangka lainnya terkait dugaan korupsi tersebut.
Jakarta, IDN Times - Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri menetapkan adik Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI, Jusuf Kalla, Halim Kalla sebagai tersangka dugaan Tindak Pidana Korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (2x50 MW) di Kecamatan Jungkat Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat pada 2008 sampai 2018.
Kakortastipidkor Polri, Irjen Pol Cahyono Wibowo, mengatakan, selain Halim, pihaknya juga menetapkan tiga tersangka lainnya.
“Tersangka FM (Fahmi Mochtar) sebagai Direktur Utama PLN periode 2008-2009, pihak swasta HK (Halim Kalla) selaku Presiden Direktur PT BRN, RR (Dirut PT BRN) dan HYL (Dirut PT Praba),” kata Cahyono di Bareskrim Polri, Senin (6/10/2025).
Peristiwa ini bermula ketika PT PLN (Persero) mengadakan lelang ulang untuk pekerjaan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat dengan kapasitas output sebesar 2x50 Megawatt yang direncanakan akan dibangun di Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat.
Namun sebelum pelaksanaan lelang tersebut, pihak PLN melakukan permufakatan dengan pihak calon penyedia dari PT BRN dengan tujuan untuk memenangkan PT BRN dalam Lelang PLTU 1 Kalbar.
Selanjutnya, dalam pelaksanaan lelang tersebut, panitia pengadaan PLN telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN, Alton dan OJSC, meskipun tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis.
Selain itu, diduga perusahaan Alton dan OJSC tidak pernah tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai PT BRN.
Pada 2009, sebelum dilaksanakannya tanda tangan kontrak, KSO BRN mengalihkan pekerjaan kepada PT PI, termasuk penguasaan terhadap rekening KSO BRN dengan kesepakatan pemberian imbalan (fee) kepada pihak PT. BRN.
Pada saat dilaksanakan tanda tangan kontrak pada 11 Juni 2009, pihak PLN belum mendapatkan pendanaan dan mengetahui KSO BRN belum melengkapi persyaratan.
Sampai dengan berakhirnya waktu kontrak pada 28 Februari 2012, KSO BRN maupun PT PI baru menyelesaikan 57 persen pekerjaan. Sampai amandemen kontrak yang ke-10 yang berakhir pada 31 Desember 2018, KSO BRN maupun PT PI tidak mampu menyelesaikan pekerjaan atau hanya mencapai 85,56 persen karena alasan ketidakmampuan keuangan.
Namun demikian, diduga bahwa ada aliran atau transaksi keuangan dari rekening KSO BRN yang berasal dari pembayaran proyek ke para tersangka dan pihak lainnya secara tidak sah.
KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323.199.898.518, (untuk pekerjaan konstruksi sipil) dan sebesar 62,410,523.20 dolar AS (untuk pekerjaan Mechanical Electrical). Jika ditotal, KSO BRN menerima pembayaran sekitar Rp1,3 triliun.
Namun sampai dengan saat ini pekerjaan Pembangunan PLTI 1 Kalbar belum juga selesai dan tidak dapat diserahkan untuk dimanfaatkan oleh PLN (sebagian besar kondisi bangunan dan peralatan terbengkalai, rusak dan berkarat) sehingga PT PLN mengalami kerugian.