Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

ASN Jakarta Boleh Poligami, Amnesty Internasional: Itu Diskriminasi

Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid. (IDN Times/Margith Damanik)
Intinya sih...
  • Penjabat Gubernur Jakarta menerbitkan Pergub soal poligami bagi ASN yang bertentangan dengan konvensi internasional.
  • Amnesty International Indonesia menilai Pergub tersebut melanggar prinsip kesetaraan gender dan hak asasi manusia.
  • Usman Hamid meminta Penjabat Gubernur Jakarta merevisi aturan tersebut untuk tidak mendiskriminasi perempuan.

Jakarta, IDN Times - Penjabat Gubernur Jakarta Teguh Setyabudi, menerbitkan Pergub soal tata cara pemberian izin bagi ASN Jakarta yang hendak beristri lebih dari satu atau berpoligami.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut praktik poligami bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia.

“Kedua perjanjian HAM internasional tersebut menegaskan poligami merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan, karena menciptakan ketidaksetaraan dalam relasi pernikahan,” ujar Usman, Jumat (17/1/2025).

1. Pergub soal poligami dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender

Pj. Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi mendampingi Menko PMK RI Pratikno dalam meninjau pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di DLB Cahaya, Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara, Senin (13/1/2025). (dok. Humas Pemprov DKI Jakarta)

Usman menilai, Pergub tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender dan hak asasi manusia yang telah dijamin peraturan nasional dan internasional.

Komite HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas mengawasi pelaksanaan ICCPR telah menegaskan bahwa poligami harus dihapuskan karena praktik tersebut merendahkan martabat perempuan dan melanggar prinsip kesetaraan dalam pernikahan.

“Ketimbang membuat aturan yang diskriminatif terhadap perempuan, ada baiknya Penjabat Gubernur Jakarta maupun pemerintah secara umum membuat aturan yang memberikan akses yang setara bagi perempuan dalam hal mengajukan perceraian dan mendapatkan hak asuh anak,” ujar Usman.

2. Amnesty minta Pj Gubernur merevisi Pergub soal poligami

Pj. Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Dalam banyak kasus, akses yang sulit bagi perempuan dalam mengajukan perceraian membuat perempuan terjebak dalam lingkaran kekerasan rumah tangga yang berkepanjangan.

Pasal 3 ICCPR memerintahkan negara yang meratifikasi Kovensi tersebut untuk memastikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang setara, dan poligami bertentangan dengan prinsip tersebut karena bersifat diskriminatif terhadap perempuan.

Pasal 5(a) CEDAW juga memerintahkan negara pihak untuk menghapus segala bentuk praktik yang menunjukan inferioritas dan/atau superioritas antara laki-laki dan perempuan atau peran stereotip laki-laki dan perempuan.

“Pj Gubernur harus merevisi aturan tersebut dan memastikan bahwa kebijakan itu tidak melanggar hak-hak ataupun mendiskriminasi perempuan. Penjabat Gubernur Jakarta harus mengutamakan kebijakan yang mendorong kesetaraan gender dan perlindungan HAM di lingkungan ASN,” ujarnya.

3. Pj Gubernur Jakarta terbitkan aturan poligami

Wakil Menteri Sosial, Agus Jabo Priyono dan Pj. Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi usai jalani pemantauan Program Makan Bergizi Gratis di Jakarta pada Senin (6/1/2025). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Sebelumnya, Penjabat Gubernur Jakarta pada 6 Januari 2025 menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian untuk aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemprov Jakarta.

Regulasi ini juga mengatur soal menikah lebih dari satu kali atau poligami. Peraturan itu menyatumkan beberapa pasal mengenai kewajiban mendapatkan izin dan syarat-syarat poligami bagi ASN yang bersangkutan.

Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) pada 24 Juli 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Konvensi ini menegaskan prinsip-prinsip non-diskriminasi bagi perempuan dan kesetaraan dalam perkawinan dan kehidupan keluarga.

Dalam Komentar Umum No. 21 CEDAW mengenai Kesetaraan dalam Pernikahan dan Hubungan Keluarga disebutkan bahwa poligami bertentangan dengan hak atas kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan dapat memberi konsekuensi emosional dan finansial yang serius terhadap perempuan.

Indonesia juga meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pada 28 Oktober 2005 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Pasal 3 ICCPR menyatakan bahwa Negara Pihak dalam Kovenan ini harus mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin persamaan dan pemenuhan hak laki-laki dan perempuan.

“Dalam Komentar Umum Nomor 28 terhadap Pasal 3 ICCPR dijelaskan bahwa poligami bertentangan dengan pemenuhan hak dasar dan kebebasan perempuan, sehingga praktiknya perlu dihapuskan secara seutuhnya,” kata Usman.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us