Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bincang Mantan: Soal Kebiasaan Buka Puasa Bersama

Ilustrasi oleh Rappler Indonesia

Oleh Adelia Putri dan Bisma Aditya

JAKARTA, Indonesia — Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius

Bisma: Bulan puasa kok malah jadi hedon?

Bulan Ramadan tiba!!

Inilah waktu di mana seluruh umat Muslim, karena penduduk Indonesia mayoritas Muslim, sebagian besar masyarakat Indonesia menjalankan ibadah yang poin pentingnya adalah untuk menahan hawa nafsu. Seharusnya.

Nah, salah satu fenomena unik yang ada di Jakarta (entah bagaimana di kota lain) adalah kebiasaan buka puasa bersama (biasa disebut bukber) mulai dari teman SD, SMP, SMA, kuliah, saudara, tetangga, pokoknya semua lingkar sosial deh.

Saya yang kebetulan selalu diberikan mandat untuk mengatur bukber dari berbagai kelompok sampai harus atur waktu dan menyebar undangan bukber bahkan dari sebelum Kementerian Agama sidang isbat supaya bukbernya ramai. Sesibuk itu semua orang untuk bukber sampai kita harus tag jauh-jauh hari untuk ajak mereka.

Sampai sejauh ini sih kayaknya enggak ada masalah ya sama yang namanya bukber ini, toh menyambung silaturahmi dengan banyak kerabat itu bagus kan?

Sebagai disclaimer, saya sering banget ikutan bukber dan tidak anti sama kegiatan ini. Justru karena itulah saya jadi punya pendapat yang agak lain terhadap kegiatan ini.

Menurut saya, kegiatan bukber ini sebetulnya cukup bertentangan dengan konsep menahan hawa nafsu selama puasa lho. Menurut saya seharusnya selama bulan puasa kita harus hidup sesederhana mungkin dan perbanyak ibadah. Iya kan?

Tapi ini kenyataannya malah hampir setiap hari makan di luar. Jujur deh, pengeluaran kamu lebih besar waktu bulan puasa ketika cuma bisa makan pada waktu tertentu, atau pada bulan lainnya ketika bisa makan kapan aja?

Baru hari Senin udah mikirin weekend nanti mau makan di mana. Baru jam 4 sore udah duduk-duduk di restoran nge-tag-in tempat sambil liat-liat buku menu. Selesai buka puasa enggak mungkin langsung pulang, pasti lanjut duduk-duduk dan pasti jajan lagi. Kalau di hari biasa jarang jajan, di bulan puasa malah setiap hari jajannya. Boros. Di mana letak menahan hawa nafsunya?

Okelah ada yang bilang boros itu relatif, sekarang coba ya kita bicarain hal yang mutlak dari bukber. Sekarang perhatiin deh, kalau kamu bukber, apakah semua teman kamu yang puasa salat maghrib? Apakah semua teman kamu tidak gibah? Kalau ini tidak ada kata relatif kan?

Yang saya lihat kegiatan bukber yang awalnya diniatkan menjadi ajang silaturahmi menambah pahala di bulan puasa, semakin ke sini semakin bergeser value-nya, menjadi semakin jauh dari pengamalan ibadah puasa. Kegiatan yang seharusnya menjadi pemanis Ramadan malah jadi kayak pemanis buatan (enak, nagih, tapi enggak baik). Yang awalnya banyak manfaatnya, sekarang malah banyakan mudaratnya.

Kalau saya sih berpikirnya karena tidak mungkin untuk tidak ikut bukber karena tidak mungkin kita jadi anti sosial, dan tidak mungkin juga mengubah tradisi bukber yang ada sekarang karena semuanya berada di luar kuasa kita, ya kita ubah aja apa yang bisa kita ubah. Apa lagi kalau bukan diri sendiri.

Mulai dari niatin bukber betul sebagai ajang silaturahmi, tidak kurang tidak lebih. Tetap ingat nilai-nilai puasa kita. Tetap ingat kewajiban kita, dan bertindaklah sesuai kemampuan, tidak berlebih-lebihan.

Saya percaya semua dimulai dari nawaitu-nya. Kalau niatnya baik ya baik. Kalau niatnya buruk ya buruk. Kalau niat bukber untuk sebagian dari ibadah ya jadi sebagian dari ibadah. Kalau bukber untuk menuruti gaya hidup hedon, gibah, dan lupain ibadah wajib, ya enggak usah puasa aja sekalian kali ya?

Adelia: Jangan keasikan selfie sampai kamu lupa esensi Ramadan

Entah saya yang malas, atau memang semakin tua, semakin sedikit lingkar sosial yang saya anggap penting.

Beberapa tahun lalu, saat masih kuliah atau baru lulus kuliah, bisa ada belasan buka puasa bersama yang saya datangi, dari geng SD, teman SMA, OSIS angkatan sendiri, OSIS angkatan bawah, ekskul, BEM, dan masih banyak lagi. Bulan puasa adalah ajang eksis untuk membuktikan pada dunia bahwa saya cukup penting dan populer karena tergabung dalam begitu banyak afiliasi — dan iya, pakai embel-embel ‘menyambung tali silaturahmi’ alias ‘yes, ada foto bareng lagi’.

Semakin kesini saya semakin merasa waktu semakin berharga — mungkin karena semakin tua, ya?

Dengan pekerjaan yang semakin menumpuk dan tanggung jawab yang semakin banyak, semakin sedikit waktu luang yang ada. Kalaupun ada, sepertinya lebih baik dipakai untuk bersama mereka yang betul betul penting — sahabat dekat dan keluarga.

Kamu pernah bertanya-tanya tidak, kenapa sih segala ucapan ‘kangen-kangen’ baru muncul kalau bulan puasa? Lah, ke mana saja sebelas bulan yang lain? Kenapa semua lingkar sosial tiba-tiba 'menyala' lagi sekarang? Lalu, toh pada akhirnya kalau datang bukber mentok-mentok kita akan berakhir ngobrol dengan yang dekat saja — mereka yang selama sebelas bulan lainnya selalu ada di chat teratas kita.

Belum lagi, terkadang bukber berbalut reuni ini malah jadi ajang pamer dan ajang nyinyir di mana saya harus menahan emosi kalau ada yang nanya "kok gendutan?", "kok belum nikah?", "kok belum dilamar?", "kok belum punya anak?", dan pertanyaan menyebalkan lainnya. Buat saya sih, daripada emosi, kesal, dan malah dosa karena ngatain, mending buka puasa sendiri atau dengan yang tidak menyebalkan.

Lalu, bukankah esensi bulan Ramadan itu ketenangan dan mendekatkan diri pada Tuhan? Biasanya kalau buka puasa bersama ujung-ujungnya enggak salat magrib apalagi tarawih karena musala ramai atau lagi asik — buat apa toh puasa kalau salatnya ditinggal? Terlalu sibuk memikirkan jadwal bukber setiap hari, mau pakai baju apa, makan di mana, dan harus impress siapa akhirnya malah bikin kita tidak sadar kalau bulan puasanya lewat begitu saja — and that’s the saddest thing in Ramadan: tiba-tiba sudah takbiran dan ketika merunut ke belakang, yang berkesan hanyalah rentetan bukber.

Nah, mumpung masih tanggal muda nih, minggu depan pasti undangan yang datang makin banyak, kamu masih punya waktu untuk memilah-milah mana yang harus didatangi, mana yang tidak.

Saya enggak mau ceramahin kamu untuk ke masjid saja setiap hari, toh saya sendiri juga tidak. Saya cuma mau mengajak kamu untuk melihat Ramadan sebagai momentum yang mungkin maknanya jauh lebih besar daripada bukber sana-sini dan saat yang tepat untuk refleksi diri.

Sayang sekali kalau nanti malam takbiran, yang kamu ingat dari bulan ini cuma foto-foto bersama orang-orang yang sebenarnya kamu ajak ngobrol pun hampir tidak pernah. Sayang sekali kalau kalendermu penuh dengan bukber, tapi orang tuamu merasa ditinggal karena kamu tidak pernah di rumah.

Mumpung masih tanggal muda, masih ada waktu untuk menyusun prioritasmu. Selamat berpuasa dan menyusun jadwal!

—Rappler.com

Adelia adalah mantan reporter Rappler yang kini berprofesi sebagai konsultan public relations, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya

Share
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us