BMKG Pasang 428 Sensor Gempa Bumi dan Tsunami di Titik Rawan

Jakarta, IDN Times - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita mengungkapkan, pihaknya telah memasang 428 sensor Jaringan Sistem Monitoring Gempa Bumi. Penentuan dan lokasi pemasangan sensor didasarkan pada sejarah sumber gempa bumi.
Dwikorita memaparkan, sebelumnya telah terpasang sebanyak 411 sensor dalam Jaringan Sistem Monitoring Gempabumi. Dengan tambahan 17 sensor, maka saat ini telah terpasang 428 sensor. Pemasangan seismograf dengan kode Sensor SYJI tersebut menandai dimulainya instalasi 17 seismograf di seluruh wilayah Indonesia.
Sensor ini dipasang di berbagai tempat pertemuan antarlempeng yang berpotensi terjadi gempa, seperti di Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Filipina. Sensor juga dipasang di sesar atau patahan aktif yang telah teridentifikasi.
Sensor akan terkirim ke ruang operasional Pusat Gempa Nasional melalui data seismograf dengan kode stasiun SYJI, melalui sistem Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS).
1. BMKG bekerja sama dengan ITB dan UGM

Dalam pemasangan sensor ini, BMKG bekerja sama dengan tim ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), di bawah koordinasi Prof. Nanang Puspito. Pembangunan sensor, shelter, dan jaringan seismograf ini diperlukan untuk keakuratan informasi dan peringatan dini tsunami.
"Dengan adanya penambahan seismograf ini, kami ingin memaksimalkan dalam memberikan layanan informasi cuaca, iklim, gempa bumi, serta tsunami secara cepat, tepat, dan akurat," tutur Dwikorita usai meresmikan pemasangan sensor seismograf di Kecamatan Candi Abang, Yogyakarta, dalam keterangan resminya, Sabtu, 18 Desember 2021.
2. BMKG sadar Indonesia belum punya fasilitas infrastruktur canggih

Sejak 2016, kata Dwikorita, BMKG menyadari Indonesia adalah wilayah rawan bencana. Namun, Indonesia tidak dibekali fasilitas penunjang yang canggih. Atas dasar itu, BMKG terus menambah alat dan teknologi, guna menjaga keselamatan masyarakat terhadap bencana.
Termasuk, kata dia, pemasangan sensor gempa di Kawasan Candi Abang, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, ini dilakukan untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi informasi peringatan dini gempa besar dan tsunami kepada masyarakat. Mengingat wilayah Yogyakarta sendiri memiliki potensi kegempaan yang bersumber dari sesar-sesar aktif seperti sesar naik Opak dan zona subduksi (lempeng indo-Australia dan lempeng Eurasia) di selatan Jawa.
Pemasangan sensor gempa yang dilakukan BMKG, menurut Dwikorita, juga merupakan upaya untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi informasi peringatan dini gempa besar dan tsunami kepada masyarakat. Apalagi, wilayah RI juga diapit banyak sesar-sesar aktif.
3. BMKG berharap masyarakat semakin tangguh menghadapi bencana

Dwikorita menegaskan, meskipun fenomena gempa bumi dan tsunami tidak dapat diprediksi, namun dampaknya dapat diminimalkan melalui kecepatan analisis gempa bumi dengan jaringan seismograf yang rapat, pemodelan tsunami yang presisi, serta penyebaran informasi yang meluas ke masyarakat dan pendidikan mitigasi bencana yang tepat.
Keberadaan sistem monitoring dan peringatan dini tsunami, lanjut Dwikorita, merupakan wujud kemajuan dan kesiapsiagaan Indonesia dalam upaya mencegah, atau paling tidak dalam upaya mengurangi dampak bahaya gempa bumi dan tsunami, yang dapat timbul kapan saja dan di mana saja.
"Ini ikhtiar BMKG untuk menjaga bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman gempa bumi dan tsunami. Semoga masyarakat Indonesia semakin sadar dan tangguh dalam menghadapi bencana," ujar dia.
4. Sebanyak 246 kali tsunami menerjang Indonesia sejak 1600 hingga Oktober 2021

Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami, Bambang Prayitno, menjelaskan frekuensi gempa bumi di Indonesia setiap tahun cenderung terus meningkat. Jika dalam kurun 2008-2016 rata-rata terjadi 5.000-6.000 kali dalam setahun, maka pada 2017, jumlahnya meningkat menjadi 7.169 kali.
Angka tersebut kemudian naik kembali pada 2019 menjadi lebih dari 11.500 kali. Dalam hal bencana tsunami, sepanjang 1600 hingga Oktober 2021, telah terjadi 246 kali tsunami di Indonesia.
“Ke depannya kami akan mencoba terus berusaha dan berupaya untuk menambah sensor yang akan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, sehingga dengan semakin rapatnya jaringan sensor tersebut dapat meningkatkan kecepatan dan ketepatan, juga akurasi perhitungan magnitudo gempa bumi,” ujar Bambang.