Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bolehkah Menteri Kabinet dan Aparatur Sipil Negara Ikut Kampanye?

Pertemuan Pengusaha Kadin dengan Menteri Kabinet Kerja (Dok. IDN Times)

Jakarta, IDN Times - Pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, yang menegur pegawainya karena memilih capres-cawapres nomor urut 02, menjadi sorotan publik. Bahkan, ucapannya tersebut mengundang kritikan dari berbagai pihak, termasuk oposisi.

Sempat menjadi polemik, apakah sebenarnya pejabat negara atau menteri kabinet boleh ikut mengkampanyekan calon presiden dan wakil presiden? Ini penjelasannya.

1. Menteri yang berasal dari parpol bisa ajukan cuti untuk ikut kampanye

IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, menjelaskan tentang aturan kampanye bagi menteri kabinet. Ada aturan-aturan tersendiri di dalam Undang-Undang Pemilu bagi para pejabat negara yang ingin ikut berkampanye.

Titi menerangkan, setiap penyelenggara negara atau pejabat negara, dilarang melakukan perbuatan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, kecuali ketika dia berkampanye.

Namun, rupanya ada aturan sendiri bagi menteri yang memang ingin berkampanye. Salah satunya adalah mengajukan cuti untuk kampanye.

"Menteri yang berasal dari parpol boleh berkampanye dengan catatan ada dua syaratnya. Mengajukan cuti di luar tanggungan negara, dan kedua, tidak menggunakan fasilitas negara," kata Titi di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, Jumat (1/2).

"Nah setiap tindakan yang dianggap menguntungkan atau merugikan para paslon, tentu bertentangan dengan UU Pemilu dan itu ada ancaman pidananya," lanjut dia.

2. Pejabat negara dilarang melakukan aktivitas yang berkaitan dengan kontestasi politik

IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Titi melanjutkan, selama si pejabat negara masih berada di kursi menteri, dia tidak boleh melakukan aktivitas, dalam hal ini kapasitas jabatan, yang mengarah kepada kontestasi politik. Karena itu, ia menyarakan agar para pejabat negara harus berhati-hati dalam setiap tindakan dan ucapannya.

"Jadi sebaiknya pejabat pemerintahan berhati-hati di dalam melaksanakan tugasnya, sehingga di tengah masyarakat yang terpolarisasi, tidak semakin terbelah dan menimbulkan keragu-raguan terhadap netralitas pelayanan publik yang dilakukan oleh pejabatnya," jelas Titi.

3. ASN boleh hadir di tempat kampanye hanya untuk mendengarkan visi misi saja

Ilustrasi ASN (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), Titi memaparkan, netralitas ASN sama dengan netralitas penyelenggara Pemilu. Tetapi, penyelenggara Pemilu punya hak memilih hanya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Beda dengan ASN, mereka diperbolehkan hadir di tempat kampanye, namun hanya untuk mendengarkan visi misi paslon saja.

"Menurut UU, yang tidak boleh adalah dihadirkan dengan sengaja dan menjadi bagian proses kampanye secara aktif. Tetapi mendengarkan visi misi boleh. Nah, inti pesannya kan 'don't ask, don't tell'. Jangan tanya pilihan orang apa dan jangan beri tahukan pilihan politiknya apa," ujar Titi.

4. ASN harus ekspresikan pilihan politiknya hanya di bilik suara

Ilustrasi pengamanan kotak suara (ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin)

Meski begitu, tambah Titi, bagi ASN yang memiliki ekspresi politik, alangkah baiknya diekspresikan di bilik suara, dan tidak boleh mengekspresikan pilihan politik yang mengarah kepada partisan.

"Rambu-rambunya sebenarnya sudah jelas, yang penting bagi ASN itu adalah menahan diri bahwa ekspresi politik itu tidak perlu diekspresikan di masa kampanye, ekspresikanlah pada hari pemungutan suara," ungkap dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us