BPJS Batasi Pengobatan Katarak Hingga Fisioterapi, Ini Akibatnya

Jakarta, IDN Times - Ketua Umum PB IDI Oetama Marsis mengatakan, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan (Perdirjampel) Nomor 2, 3, dan 5 Tahun 2018 merugikan pasien dan dokter. Peraturan tersebut berkaitan dengan layanan kesehatan katarak, persalinan bayi sehat dan rehabilitasi medik atau fisioterapi. Kendati ketiga layanan tersebut tidak dicabut sepenuhnya, BPJS Kesehatan menerapkan beberapa peraturan yang dinilai menyulitkan banyak pihak, seperti pasien, dokter, hingga rumah sakit.
"Masalah utamanya ada di sistem keuangan pembiayaan. Akhir 2017 lalu, BPJS mengalami defisit Rp27,8 triliun. Kerugian diprediksi lebih dari 2 digit," kata Marsis saat konferensi pers di Kantor PB IDI, Jakarta, Kamis (2/8).
Menurut Marsis, BPJS Kesehatan mencoba membuat peraturan bersifat internal, namun pada akhirnya berdampak eksternal. Perdirjampel 2018 dipastikan tidak menghasilkan mutu pelayanan yang baik. Meskipun ada defisit pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), BPJS Kesehatan seyogianya tidak mengorbankan kesehatan pasien.
Lantas, apa saja dampak Perdirjampel 2018? Berikut pemaparan Marsis.
1. Dokter berpotensi melanggar sumpah dan kode etik

Marsis menjelaskan, dokter berpotensi melanggar sumpah dan kode etik kedokteran, yaitu melakukan praktik kedokteran tidak sesuai standar profesi.
"Karena kewenangan dokter dalam melakukan tindakan medis diintervensi dan direduksi oleh BPJS Kesehatan. Ini berisiko meningkatkan konflik antara dokter dengan pasien dan fasyankes," kata Marsis.
2. Bayi baru lahir berisiko cacat hingga kematian

Dalam Perdirjampel No. 3 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat, terdapat perubahan prosedur klaim rumah sakit. Jika sebelumnya bayi lahir mendapatkan pelayanan sepaket dengan ibunya, saat ini terpisah. Bayi tersebut harus didaftarkan dulu menjadi peserta JKN agar bisa mendapatkan jaminan layanan kesehatan.
"Semua kelahiran harus mendapatkan penanganan yang optimal karena bayi baru lahir berisiko tinggi mengalami sakit, cacat, bahkan kematian. Perdirjampel No. 3 itu bertentangan dengan semangat IDI untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi," terang Marsis.
3. Angka kebutaan akan semakin meningkat

Dalam Perdirjampel No. 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Katarak, BPJS Kesehatan menerapkan syarat visus (ketajaman atau kejernihan) kurang dari 6/18 preoperatif pada mata pasien yang bisa dilanjutkan tindakan operasi. Padahal, sebelumnya BPJS Kesehatan menjamin biaya operasi katarak tanpa syarat.
"Kebutaan katarak di Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia. Perdirjampel No. 2 dengan kuota mengakibatkan angka kebutaan kian meningkat. Kebutaan menurunkan produktivitas dan meningkatkan risiko cedera dalam beraktivitas sehari-hari," ujar Marsis.
4. Pembatasan rehabilitasi medik merugikan pasien

Kemudian, dalam Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan No. 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik membatasi kunjungan layanan fisioterapis yang dilakukan pasien maksimal 8 kali per bulan. Padahal, sebelumnya pasien tidak memiliki batasan waktu untuk memanfaatkan pelayanan fisioterapis.
"Pasien yang hanya mendapatkan pelayanan rehabilitasi medik maksimal 2 kali seminggu akan dirugikan, sebab tidak sesuai standar pelayanan rehabilitasi medik. Akibatnya, hasil terapi tidak tercapai secara optimal dan kondisi disabilitas sulit teratasi," tandasnya.