DPR Ungkap Syarat agar E-voting Ideal Diterapkan pada Pemilu 2029

- Mardani menekankan pentingnya keamanan teknologi dan etika penyelenggara pemilu dalam penerapan e-voting pada Pemilu 2029.
- Dia mengusulkan agar e-voting tidak menjadi kewajiban dijalankan dan aturan terkait sistematis e-voting diatur dalam peraturan turunan.
Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera, menanggapi soal munculnya usulan sistem pemungutan suara elektronik alias electronic voting (e-voting) diterapkan pada gelaran Pemilu 2029 mendatang.
Menurutnya, e-voting baru bisa diterapkan dengan dua syarat yang wajib dipenuhi, yakni teknologi yang digunakan terjamin keamanannya dan etika lembaga penyelenggara pemilu wajib tinggi.
"Pertama, e-voting itu keniscayaan selama dua hal. Satu, teknologinya tervalidasi security-nya. Yang kedua, etika penyelenggaranya tinggi," kata dia saat ditemui di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Jakarta Pusat, Selasa (28/10/2025).
1. Mempengaruhi kepercayaan publik

Mardani mengatakan, apabila kedua syarat utama itu tak bisa dipenuhi, maka kepercayaan publik terhadap legitimasi pemilu akan anjlok.
Jika kepercayaan masyarakat lemah, maka bisa menimbulkan berbagai masalah besar, baik saat pemilu berlangsung maupun pascapemungutan suara.
"Kalau dua ini gak ada, trust-nya kecil, masalahnya besar. Nanti malah merusak pemilu kita," kata dia.
2. Sistem e-voting tidak menjadi kewajiban dijalankan

Politikus PKS itu mengatakan, usulan mengenai pemungutan suara e-voting untuk Pemilu 2029 sebenarnya sudah mulai dibahas di DPR. Namun, dia mengusulkan pula agar sistem e-voting ini tidak menjadi kewajiban yang dimuat dalam revisi UU Pemilu. Nantinya aturan turunan seperti Peraturan KPU (PKPU) dan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) yang akan membahas secara spesifik terkait sistematis e-voting.
"Ke depan juga kalau buat saya gak usah spesifik bahwa wajib e-voting. Saya termasuk pengikut rezim undang-undang itu buat simpel, PKPU-nya, Perbawaslu-nya itu yang didetailkan. Kita konsentrasi di situ," kata dia.
3. Usul pemungutan suara digelar seminggu, tak wajib hari Rabu

Lebih lanjut, Mardani mengusulkan agar pemungutan suara pada Pemilu 2029 tidak digelar dalam waktu satu hari secara serentak di seluruh daerah.
Menurut dia, pemungutan suara yang diselenggarakan hanya dalam waktu sehari terlalu memaksakan. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, sehingga idealnya membutuhkan waktu seminggu.
Dia menjelaskan, nantinya setiap daerah diberikan keleluasaan untuk memilih hari apa saat menggelar pemungutan suara. Asalkan harinya masih dalam rentang waktu seminggu yang diberikan.
"Seminggu cukup. Nanti usul saya setiap daerah mengajukan sendiri, terverifikasi," ujar dia.
Dia mengatakan, hari pemungutan suara yang dipilih setiap daerah wajib mempertimbangkan karakteristik masyarakat setempat.
Misalnya, seperti warga di Bekasi yang kebanyakan pekerja pabrik. Pemungutan suara yang digelar hari Rabu seperti yang berlaku pemilu sebelumnya dianggap tidak efektif karena banyak pabrik yang mengalami kerugian harus mengorbankan satu hari waktu kerjanya untuk libur.
Sementara, aturan berbeda juga bisa diterapkan seperti di wilayah Sulawesi Utara yang mayoritas warganya Nasrani. Jika pemungutan suara di hari Minggu, tidak efektif karena terbentur dengan jadwal ibadah ke gereja.
"Misal kayak Bekasi kabupaten, itu kan the biggest industrial park di Indonesia. Pokoknya Rabu, ya, protes lah mereka. Satu hari mereka shutdown, cost-nya tinggi sekali. Padahal mereka terikat kontrak dengan banyak pihak. Mereka gak mau. Mereka Sabtu, Minggu, gak masalah," kata dia.
Jam pelaksanaan pemungutan suara juga diusulkan agar fleksibel dan tak serentak. Misalnya, tempat pemungutan suara (TPS) diperbolehkan buka pukul 12.00 sampai 17.00.
"Dan dibukanya TPS, mungkin jangan jam 09.00 sampai 12.00. Ya, kita buka 12.00 sampai 17.00. Kenapa, (bagi pemilih yang Nasrani misalnya) bisa ke gereja dulu pagi, siangnya ke itu (TPS), gitu lho. Jadi lentur (waktunya)," ucap dia.

















