Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Eks Ketua Tim Asistensi TGPF 98: Soeharto Tak Layak Jadi Pahlawan Nasional

Momen ketika mantan Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. (Tangkapan layar buku politik Huru Hara Mei 1998)
Momen ketika mantan Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. (Tangkapan layar buku politik Huru Hara Mei 1998)
Intinya sih...
  • Soeharto tidak pernah diadili karena sakit lalu meninggal
  • MPR cabut nama Soeharto dari TAP nomor 11 tahun 1998 soal KKN

Jakarta, IDN Times - Eks Ketua Asistensi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Hermawan Sulistyo, mengatakan, Presiden ke-2 RI Soeharto tidak layak dijadikan pahlawan nasional. Sebab, Seoharto diduga melakukan korupsi selama 32 tahun memimpin Indonesia. Meski begitu, Soeharto belum sempat dibawa ke meja hijau untuk membuktikan apakah tuduhan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) itu benar.

"Bagi saya, 1000 persen gak layak (Soeharto jadi pahlawan nasional). Itu aja," ujar Hermawan ketika berbicara di program Real Talk with Uni Lubis dengan episode berjudul '1000 Persen Soeharto Tak Layak Jadi Pahlawan di YouTube IDN Times pada 20 Juni 2025.

Pria yang mengambil program doktor tentang sejarah itu mengatakan, sesungguhnya peradilan Soeharto sudah siap digelar. Bahkan, ruang sidang sudah dipilih diadakan di Gedung Kementerian Pertanian pada tahun 2000 lalu.

Namun, meski sudah menjadi tersangka, Soeharto tidak pernah menjalani proses formal peradilan. Ia hanya dikenakan tahanan rumah. Soeharto pun wafat sebelum bisa menjalani proses peradilan.

Menurut Hermawan, itu semua tidak lepas dari peran Presiden ke-3 BJ Habibie.

"Pak Habibie kan utang budi ke Pak Soeharto," kata pria yang akrab disapa Kiki itu.

1. Soeharto tidak pernah diadili karena sakit lalu meninggal

20250622_094323.jpg
Ketua Tim Asistensi dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Prof Hermawan Sulistyo ketika berbicara di program 'Real Talk' with Uni Lubis di kantor IDN Media HQ. (Tangkapan layar YouTube IDN Times)

Hermawan mengakui, ada rasa sungkan dari Presiden ke-3 BJ Habibie untuk mengadili Soeharto. Apalagi Habibie bisa diangkat menjadi wakil presiden berkat bantuan Soeharto.

"Karena kan semua orang utang budi sama Pak Harto. Ada yang dijadikan Panglima, Pangdam Jaya, dan segala macam. Jadi, mereka semua (memegang prinsip) mikul duwur mendem jero. Jadi, mendem," ujar Hermawan.

Ia juga mengamini pernyataan Uni Lubis soal laporan investigasi yang pernah dilakukannya ketika mengungkap kebocoran pembicaraan telepon antara Presiden ke-3 BJ Habibie dengan mantan Jaksa Agung, Muhammad Andi Ghalib. Habibie ketika itu terungkap meminta kepada Jaksa Agung Ghalib agar persidangan tentang kasus korupsi Soeharto tidak dibuka.

"Betul, sampai sekarang Presiden Soeharto tidak pernah diadili. Alasannya pun aneh, sakit. Kondisi sakitnya pun berlangsung selama 9 tahun. Masak sakit gak pernah ada sembuhnya? Apalagi penyakitnya bukan tipikal penyakit permanen yang gak bisa disembuhkan," kata dia.

2. MPR cabut nama Soeharto dari TAP nomor 11 tahun 1998 soal KKN

Ketua MPR, Bambang Soesatyo dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI tahun 2024, pada Jumat (16/8/2024). (YouTube.com/DPR RI)
Ketua MPR, Bambang Soesatyo dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI tahun 2024, pada Jumat (16/8/2024). (YouTube.com/DPR RI)

Sebelumnya, upaya untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional sudah dibuka jalannya sejak September 2024 lalu. Ketika itu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 yang berisi tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN. Penyebutan nama Soeharto tertera di pasal 4 TAP MPR tersebut.

"Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik itu pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, pihak swasta atau konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto. Tetapi, upaya itu tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia (HAM)," demikian isi pasal 4 TAP MPR nomor 11 tahun 1998. 

TAP MPR itu diteken pada 13 November 1998. Ketua MPR kala itu dijabat Harmoko. Keputusan tersebut disampaikan Bambang Soesatyo yang menjadi Ketua MPR saat itu di sidang paripurna terakhir anggota MPR periode 2019-2024.

"Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11 tahun 1998 tersebut, (proses hukum) secara pribadi Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," ujar Bambang di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, September 2024.

Pria yang akrab disapa Bamsoet itu mengatakan, TAP MPR tersebut secara yuridis masih berlaku. Namun, proses hukum terhadap Soeharto sesuai pasal itu telah selesai karena yang bersangkutan telah meninggal dunia.

3. Fadli Zon sebut Soeharto layak jadi pahlawan nasional sejak dulu

Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon. (IDN Times/Amir Faisol)
Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon. (IDN Times/Amir Faisol)

Sementara, wacana pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto juga disampaikan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon. Bahkan, tak sedikit yang menduga kuat proyek penulisan ulang sejarah yang dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan untuk memoles ulang citra Soeharto agar layak diberi gelar pahlawan nasional.

Dalam suatu acara di kawasan Jakarta Selatan pada Mei 2025 lalu, Fadli menyebut Soeharto sudah sejak dulu layak menjadi pahlawan nasional.

"Kalau saya sih secara pribadi dari dulu, gelar untuk Pak Harto (Soeharto) itu harusnya dari dulu. Dari dulu Pak Harto itu sangat layak untuk mendapatkan pahlawan nasional," ujarnya.

Sebab, kata dia, Soeharto yang melalui Serangan Umum 1 Maret berupaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika Soekarno hingga Agus Salim ditangkap Belanda. Menteri dari Partai Gerindra itu mengatakan, karena peran Soeharto itu pula melalui Serangan Umum 1 Maret kabar Indonesia masih melakukan perlawanan terhadap Belanda diketahui dunia internasional.

"Nah, tidak bisa dipungkiri bahwa yang memimpin pertempuran itu namanya Letkol Soeharto. Tidak ada itu (bantahan)," kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us