Hermawan Sulistyo: Kerusuhan Mei 1998 Sudah Terbaca

- Kerusuhan Mei 1998 sudah terdeteksi sejak November-Desember 1997, Hermawan mengungkapkan.
- Hermawan Sulistyo mengusulkan istilah "transvolusi" untuk meminimalisir korban, simulasi kerusuhan dengan skenario empat mahasiswa yang ditembak.
Jakarta, IDN Times - Mantan Ketua Tim Asistensi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Mei 1998, Hermawan Sulistyo, mengungkapkan kerusuhan besar yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 sebenarnya sudah terdeteksi jauh hari sebelum peristiwa itu pecah.
Menurutnya, bagi mereka yang mendalami sejarah Indonesia, ledakan sosial dan politik pada Mei 1998 adalah sebuah keniscayaan atau sudah disebut sebagai kemestian sejarah. Hermawan mengaku sudah memprediksi akan terjadi revolusi sejak sekitar November-Desember 1997.
"Saya sudah ngomong bahwa akan ada revolusi dalam tanda petik, jauh sebelum Mei. Pada Desember 97, November-Desember, itu kami sudah tahu akan ada kerusuhan ini," kata dia dalam program Real Talk with Uni Lubis di kantor IDN Times, Jakarta, dikutip Sabtu (21/6/2025).
1. Jika ada revolusi maka korban pertama adalah anak kandung

Dia pun bersama rekan-rekannya berupaya memikirkan cara meminimalisir korban. Gejolak politik dan krisis ekonomi yang terjadi saat itu menjadi sinyal akan adanya pergolakan di tengah masyarakat.
"Karena kalau dalam satu kerusuhan yang menjadi bagian dari revolusi, biasanya korban pertama adalah anak-anak kandungnya sendiri. Jadi kita sudah lihat, mahasiswa pejuang-pejuang itu mungkin korban pertamanya," ujar dia.
Namun, menurut dia, pola revolusi dari negara lain tidak bisa diadopsi mentah-mentah ke Indonesia.
"Di Filipina, revolusi EDSA itu dimulai dengan ribut karena mahasiswa demo, dia tidur di jalanan. Di jalanan ETSA itu, tank-tank lewat karena anak-anak mahasiswa itu tidur di jalan, berhenti mereka. Saya bilang, itu tidak mungkin terjadi di Indonesia. Kalau ada mahasiswa demo dengan tidur di jalan, kalau di Indonesia dilindas, pasti dilindas," ujar dia.
2. Adanya simulasi kerusuhan dengan skenario empat mahasiswa yang ditembak

Hermawan sempat mengusulkan istilah "transvolusi," yakni revolusi yang diperlambat, evolusi yang dipercepat supaya tidak banyak korban. Namun, istilah itu akhirnya berganti.
Lebih jauh, dia mengungkapkan, pada 5 Mei 1998, mereka sudah menghitung potensi kerusuhan. Dia bahkan ikut dalam simulasi skenario di Fakultas Psikologi UI bersama mahasiswa psikologi se-Jakarta, lengkap dengan skenario empat mahasiswa tertembak.
"Saya bagi dua peserta itu. Mari kita bikin skenario bahwa akan ada kerusuhan. Kerusuhan itu dipicu oleh ditembaknya mahasiswa. Ditembak itu harus empat. Kenapa? Saya bilang kenapa harus empat. Kalau kurang dari empat, tidak punya dampak politis," kata dia..
Dia mengatakan, ada sekitar 100 mahasiswa yang terlibat dalam simulasi tersebut. Separuh mahasiswa menjadi demonstran dan separuhnya lagi menjadi aparat.
Pada persitiwa kerusuhan 12 Mei 1998, ada empat nama mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas ditembak. Tragedi itu kemudian dikenal sebagai Tragedi Trisakti. Empat nama itu adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hendriawan Sie, dan Hadi Wijaya (alias Lintang)
Keempat mahasiswa ini ditembak ketika sedang melakukan aksi unjuk rasa secara damai di lingkungan kampus Universitas Trisakti, Jakarta, untuk menuntut reformasi dan mendesak Presiden Soeharto mundur.
3. Sampaikan pada media asing bahwa Thamrin akan membara

Dia juga mengaku berbicara di CNN Eropa, menunjukkan bagaimana gedung-gedung di Thamrin akan dibakar. Ketika skenario itu benar-benar terjadi pada 12 Mei dengan jatuhnya empat korban mahasiswa Trisakti, Hermawan Sulistyo yang juga dipanggil Kiki ini mengaku sempat dicurigai sebagai dalang.
"Terus saya dituduh. Berarti Kiki ini yang main. Main apa? Bukan tentara. Bedil tak punya kok. Jadi... Prediksi saya... Benar. Artinya apa? Bahwa. Oh nanti akan begini-begini. Itu semua orang, nenek-nenek, mau mati saja sudah tahu. Bahwa kejadiannya akan seperti itu," ujar dia.