Bisakah KPK Terapkan Hukuman Mati di Korupsi Pengadaan Air di Palu?

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang mengatakan lembaga antirasuah masih akan mempelajari untuk menerapkan pasal 2 UU nomor 31 tahun 1999 terkait hukuman mati bagi koruptor dana bencana. Hal ini, lantaran empat pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menerima fee dari proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Salah satu proyeknya bahkan berlokasi di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah.
Dari data yang dimiliki oleh KPK, fee diberikan oleh dua perusahaan pemenang lelang untuk proyek pengadaan pipa HDPE di Bekasi dan di daerah bencana di Donggala, Palu. Fee itu diterima Teuku Moch Nazar (Kepala Satuan Kerja SPAM Darurat) senilai Rp2,9 miliar.
"Kan yang tadi yang kami gunakan bukan pasal 2 UU nomor 31 tahun 1999. Nanti, kami akan melihat pengembangannya seperti apa. (Penggunaan pasal) pemberatan akan kita lihat juga, bisa jadi serah terima (fee) dilakukan sebelum bencana. Nanti dipelajari dulu," ujar Saut ketika memberikan keterangan pers pada Minggu dini hari (30/12).
Lalu, berapa lama ancaman hukuman yang dihadapi oleh empat pejabat di Kementerian PUPR?
1. Empat pejabat Kementerian PUPR terancam pidana penjara 20 tahun

Atas perbuatan empat pejabat Kementerian PUPR itu, maka penyidik KPK mengenakan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b UU nomor 20 tahun 2001 mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Merujuk ke pasal itu maka tertulis dengan jelas bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara dilarang menerima hadiah atau janji untuk menggerakan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Ancaman hukuman yang tertera di pasal itu yakni pidana penjara 4-20 tahun dan denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
KPK turut mengecam perbuatan yang dilakukan oleh empat pejabat Kementerian PUPR tersebut sebab mereka masih meminta fee atas proyek pembuatan air minum di wilayah bencana di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah. Padahal, September lalu, area tersebut termasuk wilayah yang parah diterjang gempa dan gelombang tsunami.
"KPK mengecam keras dan sangat prihatin karena dugaan suap ini salah satunya terkait proyek pembangunan sistem penyediaan air minum di daerah bencana di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah yang baru saja terkena bencana tsunami September lalu," ujar Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang pada dini hari tadi di gedung KPK.
2. Empat tersangka dari pihak swasta pemberi suap terancam pidana penjara maksimal 5 tahun

Sementara, empat tersangka pemberi suap disangkakan dengan pasal 5 ayat (1) huruf a pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Merujuk ke pasal itu maka tertera dengan jelas pelaku dipidana karena telah menjanjikan atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri agar berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Ancaman pidana penjara yang dihadapi yakni maksimal 5 tahun. Selain itu, ada pula denda yang dapat dikenakan yakni Rp50 juta - Rp250 juta. Keempat tersangka dari pihak swasta yakni Budi Suharto (Direktur Utama PT Wijaya Kusuma Emindo), Lily Sundarsih (Direktur PT Wijaya Kusuma Emindo), Irene Irma (Direktur PT Tashida Sejahtera Perkasa) dan Yuliana Enganita Dibaya (Direktur PT Tashida Sejahtera Perkasa).
3. Sulit menerapkan pasal ancaman hukuman mati bagi koruptor dana bencana

Sesungguhnya penerapan hukuman mati bisa saja dilakukan sesuai dengan yang tertera di pasal 2 UU nomor 30 tahun 1999. Ada dua pasal yang tertera di pasal tersebut, yakni
(1.) Setiap orang yang secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
(2.) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana itu dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam kondisi krisis.
Itu sebabnya, menurut Saut, KPK harus mempelajari lebih dulu penerapan pasal pemberat tersebut.
"Soal faktor yang memberatkan atau meringankan itu nantinya kan akan menjadi pertimbangan jaksa penuntut umum (JPU). Kami akan lihat sejauh mana pasal pemberat itu bisa digunakan," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang.
Kendati pada faktanya ada pasal tersebut, namun dalam kenyataannya sulit diterapkan. Berkaca ke kasus-kasus korupsi dana bencana di masa lalu, tidak ada yang menerapkan pasal tersebut. Teranyar, peristiwa Ketua Komisi IV sekaligus anggota Badan Anggaran DPRD Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Muhir yang diciduk oleh tim Kejaksaan Negeri Mataram pada (14/9) lalu. Ia tertangkap tangan menerima uang Rp30 juta sebagai bagian dari fee untuk pengurusan anggaran Rp4,2 miliar dalam APBD Perubahan 2018 untuk rehabilitasi (perbaikan) 14 gedung SD dan SMP.
Sebanyak 14 gedung sekolah tersebut rusak akibat gempa bumi mengguncang Lombok dan sekitarnya. Artinya, Muhir diduga meraup uang atas anggaran proyek rehabilitasi pasca-gempa Lombok. Ia langsung dijebloskan ke tahanan usai ditangkap oleh Kejari. Hingga kini, kasusnya belum dilimpahkan ke pengadilan.
Sementara, di kasus korupsi shelter untuk korban bencana tsunami di Banten, ketiga terdakwa dijatuhi vonis 1 tahun dan 3 bulan. Mereka juga diwajibkan untuk membayar denda Rp50 juta subsider pidana kurungan 2 bulan.
4. Empat pejabat Kementerian PUPR ditahan selama 20 hari

Usai ditetapkan sebagai tersangka, empat pejabat Kementerian PUPR mengenakan rompi oranye pertanda resmi menjadi tahanan KPK. Mereka ditahan di tiga rutan berbeda. Anggiat Partunggul Nahot (Kepala Satuan Kerja SPAM Strategis/PPK SPAM di Lampung) ditahan di rutan Guntur, Meina Woro (PPK SPAM Katulampa) ditahan di rutan Polres Jakarta Selatan, Teuku Moch Nazar (Kepala Satuan Kerja SPAM Darurat) ditahan rutan Polres Jakarta Pusat dan Donny Sofyan Arifin (PPK SPAM Toba 1) ditahan di rutan Guntur.
5. KPK menemukan barang bukti berupa uang tunai senilai Rp3,8 miliar

Di dalam OTT ke-30 ini, penyidik KPK menemukan barang bukti berupa uang tunai mencapai total sekitar Rp3,8 miliar. Uang tersebut ditemukan dengan rincian Rp3,3 miliar, SGD$23.100, dan US$3.200.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah menyebut sebagian uang barang bukti itu ditemukan di dalam kardus. Nominal uang di dalam kardus mencapai sekitar Rp1,8 miliar.
"Ada pula uang sekitar Rp700 juta yang ditemukan di rumah pejabat lain Kementerian PUPR," kata Febri kepada IDN Times pada Minggu dini hari.