Gugatan di MK Minta Penyakit Kronis Diakui sebagai Disabilitas

- Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru mengajukan gugatan ke MK
- Kedua pemohon merupakan penyandang penyakit kronis yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya
- Hakim MK memberikan waktu 14 hari kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya
Jakarta, IDN Times - Dua penyandang penyakit kronis, Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru, mengajukan permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, tentang Penyandang Disabilitas ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan perkara ini terdaftar di Kepaniteraan MK dengan Nomor 130/PUU-XXIII/2025. Para pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya, karena tidak adanya pengakuan eksplisit penyakit kronis sebagai bagian dari ragam disabilitas.
1. Kedua pemohon merupakan penyandang penyakit kronis

Dalam sidang pendahuluan yang digelar MK pada Rabu (13/8/2025), Raissa Fatikha sebagai pemohon I menjelaskan dirinya adalah penyintas Thoracic Outlet Syndrome (TOS) selama 10 tahun. Ia mengalami nyeri berkelanjutan di tangan, pundak, dan dada kanan atas dengan intensitas yang berfluktuasi. Kondisi ini membatasi fungsi gerak, stamina, dan mobilitas, terutama saat flare-up. Meski demikian, ia tetap aktif mengedukasi publik melalui platform Ragam Wajah Lara.
Raissa juga menjelaskan kondisi Deanda Dewindaru sebagai pemohon II yang merupakan penyintas penyakit autoimun Guillain-Barré Syndrome, Sjögren’s Disease, dan Inflammatory Bowel Disease selama tiga tahun terakhir. Deanda mengalami kelelahan kronis dan flare-up yang membatasi stamina serta fungsi gerak. Ia aktif memberikan edukasi melalui platform Spoonie Story.
2. Ketiadaan pengakuan eksplisit menghambat hak bagi orang dengan penyakit kronis

Kuasa hukum para pemohon, Reza, menuturkan, ketiadaan pengakuan eksplisit ini menghambat sosialisasi dan advokasi hak-hak bagi orang dengan penyakit kronis.
“Ketika melakukan sosialisasi mengenai layanan publik, para Pemohon harus menjelaskan kondisi mereka secara rinci. Jika penyakit kronis diakui sebagai ragam disabilitas, proses ini akan lebih mudah dipahami pemangku kebijakan dan memastikan hak mereka terpenuhi,” ujar Reza di hadapan panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih.
Para pemohon menegaskan, kerugian yang mereka alami bersifat nyata dan faktual, khususnya dalam mengakses layanan publik yang menjadi hak istimewa penyandang disabilitas. Mereka meminta MK untuk memasukkan penyakit kronis sebagai salah satu ragam penyandang disabilitas dalam UU Penyandang Disabilitas.
Reza menambahkan, ketiadaan pengaturan tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena membatasi kesempatan para pemohon untuk mengembangkan diri, berpartisipasi dalam masyarakat, dan mendapatkan layanan yang menjadi hak penyandang disabilitas.
“Pengakuan eksplisit akan mempermudah sosialisasi, memperkuat advokasi, dan menjamin hak orang dengan penyakit kronis terpenuhi secara setara,” imbuh dia.
Menurut para pemohon, tidak dicantumkannya penyakit kronis sebagai salah satu ragam penyandang disabilitas dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Penyandang Disabilitas maupun dalam penjelasannya, serta tidak diatur secara tegas dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, telah mengakibatkan kerugian terhadap hak konstitusional para Pemohon. Hal ini karena para Pemohon mengalami kesulitan dalam mengakses layanan yang seharusnya merupakan hak istimewa bagi penyandang disabilitas.
3. Saran perbaikan hakim MK

Menanggapi permohonan para pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan agar para pemohon menjelaskan secara rinci kedua penyakit yang dimaksud, serta apakah gangguan kesehatan tersebut dapat menjadi dasar untuk memperoleh legal standing. Para pemohon harus menguraikan alasan yang kuat yang menunjukkan adanya kerugian hak konstitusional akibat berlakunya norma yang dimohonkan pengujiannya.
“Harus bisa menguraikan apa yang menjadi alasan yang sangat kuat yang menerangkan ada kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma yang diajukan pengujian itu. Poin ini nanti Anda uraikan. Kenapa kemudian saya perlu menguatkan di bagian ini, karena ini kan yang saudara katakan gangguan penyakit kronis. Gimana saudara bisa menunjukkan bahwa ada kerugian konstitusional berkaitan dengan klasifikasi penyakit kronis,” kata Enny.
Majelis hakim memberikan waktu 14 hari kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada Selasa 26 Agustus 2025 pukul 12.00 WIB.