Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Hasil Penelitian: Warga Cenderung Toleran ke Kandidat Dinasti Politik

Ilustrasi kotak suara di Pilkada. (IDN Times/Aditya Pratama)
Intinya sih...
  • Masyarakat tidak mempermasalahkan dinasti politik karena puas dengan kinerja pendahulu dan program bantuan sosial.
  • 605 kandidat terafiliasi dinasti politik maju di Pilkada 2024, meningkat dua kali lipat dari lima tahun sebelumnya.

Jakarta, IDN Times - Salah satu faktor penyebab calon kepala daerah semakin banyak yang maju dari dinasti politik karena masyarakat tak mempermasalahkan latar belakang tersebut. Apalagi massa pemilihnya sudah dibina sejak lama melalui program bantuan sosial. 

Hal itu merupakan salah satu analisis dan temuan sementara yang dilakukan Institute for Advanced Research (IFAR) Unika Atma Jaya, Election Corner Fisipol Universitas Gadjah Mada dan pusat riset politik dan pemerintahan PolGov UGM. 

"Mereka merasa puas dari performance pendahulu atau founder dari dinasti tersebut. Hal-hal semacam ini bisa di-engineer sejak setahun sebelum pemilu. Misalnya rajin membagikan bansos, jalan dibangun, kartu-kartu dilancarkan," ujar Peneliti IFAR Unika Atma Jaya, Yoes C Kenawas ketika menjawab pertanyaan IDN Times dalam media briefing, Rabu (20/11/2024). 

Menurut dia, ada memori yang pendek di benak calon pemilih terkait kandidat dengan latar belakang dinasti politik tersebut. Itu sebabnya, kehadiran mereka cenderung ditoleransi. 

Meski begitu, Yoes tak menyalahkan warga saat mereka memilih kandidat dengan latar belakang dinasti politik. Sebab, pada akhirnya, mereka hanya disodorkan kandidat di kertas suara. Partai politik lah yang memberikan rekomendasi bagi kandidat dari latar belakang dinasti politik tersebut. 

1. Jumlah kandidat dari latar belakang dinasti politik meningkat pada Pilkada 2024

Temuan hasil penelitian sementara soal politik dinasti. (Tangkapan layar zoom)

Temuan lain, banyak dari kandidat yang maju di Pilkada 2024 terafiliasi dinasti politik. Bahkan, angkanya meningkat dua kali lipat dibanding pilkada lima tahun sebelumnya. 

Dalam catatan Yoes, ada 605 kandidat yang terafiliasi dengan dinasti politik di Pilkada 2024. Sebanyak 384 kandidat dinasti mencalonkan diri sebagai kepala daerah di tingkat provinsi dan kotamadya atau kabupaten. Kemudian, 221 kandidat lainnya mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah. 

Sementara, jumlah total pasangan calon yang maju dalam Pilkada Serentak 2024 adalah 1.553 pasangan calon atau sebanyak 3.106 orang. Artinya, persentase politisi dinasti dari angka itu adalah 19,5 persen. 

"Saya cukup kaget ketika menemukan fakta ini, kenaikan ini mencapai dua kali lipat. Seakan-akan tidak terbendung lagi jumlah pertumbuhan dinasti yang mengikuti Pilkada 2024," kata Yoes. 

Ia khawatir tren ini dapat meningkat di pilkada selanjutnya. Apabila itu yang terjadi, maka pemilihan calon pemimpin di Indonesia akan menyerupai kondisi di Filipina yang setiap gubernurnya itu merupakan bagian dari politik dinasti. 

2. Kandidat dengan politik dinasti berkompetisi di 352 daerah

Ilustrasi Pilkada. (IDN Times/Aditya Pratama)

Yoes memaparkan, 605 kandidat dengan latar belakang politik itu bisa ditemukan di 352 provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. Mereka ikut di 28 pemilihan calon gubernur. Sebanyak 324 pemilihan bupati atau wali kota juga terdapat politisi dinasti. 

"Penambahan ini sudah menyerupai kanker. Pelan-pelan tapi sekarang hampir menyebar di seluruh daerah," kata Yoes. 

Dalam penelitiannya, ia menemukan adanya daerah-daerah baru yang sebelumnya tidak ada kandidat dengan latar belakang politik dinasti, kini ada. Daerah-daerah tersebut antara lain Kabupaten Belu, Kendal, dan Tabalong. 

"Lagi-lagi yang saya khawatirkan, semua akan menjadi dinasti pada waktunya dan ini tentu tidak baik untuk iklim demokrasi Indonesia ke depannya," kata dia. 

3. Ruang politik makin menyempit

Ilustrasi kandidat di Pilkada. (IDN Times/Aditya Pratama)

Dengan meningkat pesatnya jumlah kandidat yang terafiliasi dinasti politik, Yoes melihat ruang politik Indonesia semakin menyempit dan lebih banyak menguntungkan kandidat dengan latar belakang 'darah biru.' Sebab, rata-rata mereka memiliki sumber daya finansial yang kuat.

Apalagi, saat ini tidak ada aturan yang melarang kandidat dari dinasti politik untuk maju.

"Dulu sempat ada larangan bagi kandidat dari dinasti politik, tetapi kemudian dibatalkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi). Mulai dari situ seolah-olah kerannya seperti dibuka dan diberikan kesempatan seluas-luasnya. Otomatis yang bisa memenangkan pencalonan seperti itu hanya politisi dari dinasti politik," kata Yoes. 

Aturan yang dibatalkan oleh MK dan berisi larangan bagi kandidat dinasti politik maju tertuang di dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 di Pasal 7. Isinya mengatur calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Calon kepala daerah yang dimaksud adalah calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.

Yoes berharap perubahan aturan soal syarat pengajuan calon kepala daerah yang ditetapkan oleh MK pada Agustus 2024 lalu tidak diubah lagi oleh DPR. MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta emilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.

"Dengan begitu pemilu bisa kembali kompetitif dan tidak diborong oleh kandidat dari dinasti politik," tutur dia. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Deti Mega Purnamasari
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us