Ini Isi Tuntutan Uji Formil UU TNI yang Diajukan Putri Gus Dur ke MK

- Inayah Wahid menjadi pemohon gugatan formil UU TNI di MK
- Koalisi meminta untuk menunda pemberlakuan UU nomor 3 tahun 2025
- Para perwira tinggi TNI seharusnya pensiun pada 2025, bukan diperpanjang hingga 2030
Jakarta, IDN Times - Putri bungsu mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Inayah Wahid menjadi salah satu pemohon gugatan formil Undang-Undang nomor 3 tahun 2025 mengenai TNI di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (7/5/2025). Ia dan dua pemohon lainnya menjadi pihak ke-9 yang menggugat Undang-Undang baru TNI.
Tiga pemohon tersebut didampingi oleh tiga organisasi masyarakat sipil yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KontraS dan Imparsial, yang bertindak sebagai kuasa hukum. Namun, Inayah tidak ikut mendaftarkan gugatan formil itu ke MK. Ia menyerahkan kepada kuasa hukum.
Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana mengatakan salah satu isi petitum gugatan mereka yakni meminta kepada hakim konstitusi untuk menunda pemberlakuan UU nomor 3 tahun 2025.
"Undang-Undang ini baru diberlakukan sampai adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar Arif di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Isi petitum kedua di dalam gugatan formil koalisi yakni Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan kepada presiden agar tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru dari Undang-Undang nomor 3 tahun 2025. Baik itu peraturan pemerintah atau peraturan presiden.
Isi petitum ketiga, koalisi meminta kepada hakim konstitusi memerintahkan kepada lembaga atau institusi terkait untuk tidak mengeluarkan kebijakan atau tindakan yang berkaitan pelaksanaan UU baru TNI.
"Dengan catatan ini agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang kemudian berdampak berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atau kerugian masyarakat," katanya.
Sementara, di dalam pokok permohonannya, koalisi masyarakat sipil meminta kepada seluruh hakim konstitusi untuk menyatakan Undang-Undang nomor 3 tahun 2025 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. "Sehingga, kemudian Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 mengenai TNI kembali berlaku," imbuhnya.
1. KSAL dan Panglima TNI seharusnya belum bisa dapat perpanjangan usia pensiun

Dengan adanya pengajuan gugatan uji formil tersebut, maka seharusnya para perwira tinggi TNI belum dapat merasakan perpanjangan masa pensiun seperti yang tertulis di dalam pasal 53 UU baru TNI. Penambahan usia pensiun itu untuk enam kelompok prajurit yakni bintara dan tamtama (55 tahun), perwira menengah (58 tahun), perwira tinggi bintang satu (60 tahun), perwira tinggi bintang dua (61 tahun), perwira tinggi bintang 3 (62 tahun), dan perwira tinggi bintang empat (63 tahun).
Bila mengikuti aturan di UU baru TNI, maka Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL), Laksamana Muhammad Ali yang seharusnya pensiun pada April lalu bisa bertambah masa dinasnya hingga 2030. Begitu juga dengan Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto yang akan pensiun pada Agustus mendatang.
Namun, dalam pandangan Wakil Direktur Imparsial, Husein Ahmad tidak ada dasar hukum yang kuat untuk memperpanjang masa pensiun Laksamana Ali. Karena belum ada aturan turunan yang mengatur perpanjangan masa pensiun itu. Maka, baik KSAL dan Panglima TNI tetap seharusnya pensiun pada 2025.
"Betul, (seharusnya mereka pensiun tahun ini). Lagipula, sejak aturan ini diundangkan, belum ada aturan pelaksana tentang masa usia pengabdian prajurit. Oleh sebab itu, kami juga mempertanyakan masa pengabdian KSAL, apa dasar peraturan pelaksananya? Karena belum ada sampai sekarang," tutur dia.
2. Total sudah ada 9 gugatan terhadap UU TNI di MK

Sementara, Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan mengatakan gugatan mereka menjadi gugatan kesembilan terkait UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menyadari sudah ada pihak lain yang lebih dulu menggugat proses formil atau di dalam gugatannya berisi gugatan formil dan materiil.
"Tapi, bagi kami ini adalah bagian penting untuk terus mendorong profesionalisme TNI dalam berbagai studi, politik hukum, niat atau kehendak pembentuk undang-undang bahwa TNI pascareformasi harus profesional, tidak boleh berpolitik dan harus berada dalam supremasi sipil," ujar Fadhil di depan gedung MK.
Di sisi lain, gugatan formil terhadap UU TNI merupakan simbol penolakan terhadap tren yang sudah berlangsung selama 10 tahun, di mana proses pembuatan undang-undang dilakukan secara ugal-ugalan. Undang-undang disusun diam-diam, secara kilat dan tidak melibatkan partisipasi publik.
3. UU baru TNI belum bersifat final karena masih bisa digugat ke MK

Lebih lanjut, Fadhil turut mengomentari pernyataan Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin yang menyebut Undang-Undang nomor 3 tahun 2025 mengenai TNI sudah final sehingga tak perlu lagi dibahas. Menurut Fadhil, final atau tidaknya suatu perundang-undangan bukan Menhan yang menentukan.
"Final atau tidaknya suatu undang-undang itu ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan aturan di bawah undang-undang, ditentukan oleh Mahkamah Agung (MA). Kami pikir ini cara pandangan yang keliru yang bahkan melampaui apa yang menjadi wewenang dari Menhan," kata Fadhil menjawab pertanyaan dari IDN Times.
Apa lagi di dalam permohonan uji formil ke MK dari para pemohon lain turut meminta kepada hakim konstitusi agar Undang-Undang TNI tahun 2025 dibatalkan.