JALA PRT: Cuti Melahirkan di UU KIA Sulit Diimplementasikan

- Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender menyoroti kesulitan implementasi cuti melahirkan akibat hubungan kerja yang tidak pasti.
- Perempuan pekerja dengan status kontrak, outsourcing, atau harian sulit mengakses hak cuti melahirkan karena hubungan kerja yang tak pasti.
Jakarta, IDN Times - Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender menjabarkan sejumlah kelemahan substansi dan potensi kerancuan dalam implementasi UU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan. Salah satunya adalah tentang cuti melahirkan yang dinilai sulit dilaksanakan.
“Terkait dengan hak maternitas khususnya tentang cuti melahirkan, itu sulit diimplementasi, yang tiga bulan saja itu dalam praktiknya sulit. Karena sebelumnya ada hubungan-hubungan kerja yang tidak pasti,” kata perwakilan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Jumisih, dalam konferensi pers, Sabtu (29/6/2024).
1. Hubungan kerja yang tidak pasti berimplikasi pada hak akses cuti

Contohnya, kata dia, hal ini bisa dirasakan oleh perempuan pekerja yang merupakan buruh kontrak, outsourcing buruh lepas hingga buruh harian.
“Hubungan kerja yang tak pasti membuat perempuan sulit mengakses hak cuti melahirkan. Itu menjadi pertanyaan besar pada saat UU KIA ketok palu, bagaimana implementasinya?" kata dia.
2. Berpotensi pinggirkan hak perempuan

Beleid ini, kata dia, berpotensi juga meminggirkan hak perempuan untuk masuk dalam area industrialisasi.
Menurut dia, seolah-olah pelaksanaan untuk merawat menjadi tanggung jawab perempuan sehingga beban perawatan hanya dibebankan kepada perempuan.
3. Berimplikasi pada PRT yang belum tentu dapat jaminan

Melihat kondisi ini, JALA PRT juga menyoroti belum disahkannya RUU PPRT yang sampai 20 tahun belum mendapat kejelasan. Hal ini berkaitan dengan kondisi pekerjaan informal, yakni PRT yang belum dianggap sebagai pekerja oleh negara
PRT kerap diminta mundur dari pekerjaannya saat hamil dan belum tentu ada jaminan bisa diterima lagi.