Kekerasan Seksual Guru Besar UGM, Menteri PPPA Soroti Relasi Kuasa

Jakarta, IDN Times - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, mengatakan jika kasus kekerasan seksual yang menimpa 13 (tiga belas) orang mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) erat dengan relasi kuasa yang menyimpang. Pelaku merupakan Guru Besar Fakultas Farmasi berinisial EM.
“Kasus ini mencerminkan adanya relasi kuasa yang menyimpang dan merupakan bentuk kekerasan seksual yang serius. Oleh karena itu, kami akan memastikan proses pemeriksaan berjalan sesuai peraturan yang berlaku dan hak-hak korban benar-benar terpenuhi,” kata dia dalam keterangannya, Minggu (13/4/2025).
Dia mendukung langkah yang diambil Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di UGM ini. Pihaknya sudah berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) DI Yogyakarta. Hal itu dilakukan guna memastikan proses pemeriksaan berjalan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan korban mendapatkan keadilan.
"Kami mendukung tindakan cepat yang dilakukan Satgas PPKS UGM dalam mendampingi para korban dan upaya penyelidikan terhadap saksi-saksi dan terlapor,” ujarnya.
1. Satgas PPKS harus berpihak pada korban dan lakukan upaya pencegahan

Kemdikbudristek sudah menerbitkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Aturan ini menjadi dasar penting bagi kampus untuk membentuk Satgas PPKS dan menanamkan budaya kampus yang aman bagi seluruh civitas akademika.
“Perguruan tinggi memiliki peran strategis sebagai ujung tombak pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Satgas PPKS harus berpihak pada korban dan upaya pencegahan harus dilakukan secara konsisten melalui edukasi, diskusi terbuka, pelibatan dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa dalam membangun kampus yang inklusif dan aman,” katanya.
2. Langgar Pasal 6 huruf c UU TPKS jo Pasal 64 KUHP

EM telah melanggar Pasal 6 huruf c UU TPKS jo Pasal 64 KUHP, dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, atau kepercayaan untuk memaksa korban melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul.
Tindakan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan korban melalui tipu muslihat atau penyesatan. Atas perbuatannya, EM diancam pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp300.000.000.
Peristiwa ini diketahui terjadi dalam rentang waktu tahun 2023-2024, dengan bentuk kekerasan seksual berupa sentuhan fisik yang tidak diinginkan.
3. Dukungan dari keluarga dan lingkungan jadi penting

Kemen PPPA melalui tim layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 terus bersinergi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD PPA) Provinsi DI Yogyakarta untuk memastikan korban mendapatkan pendampingan, layanan psikologis, dan bantuan hukum yang komprehensif.
“Penanganan kasus kekerasan seksual membutuhkan kolaborasi erat semua pihak. UPTD PPA dan Satgas PPKS UGM memegang peranan penting dalam memastikan kebutuhan dan hak korban terpenuhi. Dukungan dari keluarga dan lingkungan juga sangat berharga bagi pemulihan mental dan emosional korban,” ucap Arifah.