KemenPPPA Ingatkan Pentingnya Bukti Kekerasan Berbasis Gender Online

Jakarta, IDN Times - Kementerian Pemberdayaan Perempan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) meminta agar Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) dan Pengada Layanan memahami dokumen penting elektronik, yang bisa digunakan sebagai alat bukti penting penanganan dan proses hukum korban kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Valentina Gintings mengatakan, data SAFEnet menunjukkan bahwa KGBO pada 2020 meningkat 10 kali lipat dari tahun sebelumnya. Dari 60 kasus di 2016 kini menjadi 620 kasus.
"Kekerasan berbasis online didominasi oleh kekerasan seksual dengan bentuk terbanyak adalah ancaman penyebaran video porno, baik di ranah KDRT/relasi personal (RP) dan di komunitas," kata dia pada Kamis (10/2/2022).
"Pelaku terbanyak KBGO di ranah KDRT/RP adalah mantan pacar, sedangkan pelaku terbanyak di ranah komunitas adalah teman atau tidak teridentifikasi/anonim atau dengan menggunakan akun palsu," tambahnya.
1. Efek KGBO bisa sebabkan depresi karena jejak digital tak pernah hilang

Valentina menerangkan bahwa KBGO memberi dampak psikologis yang sangat besar pada korbannya, mulai dari kecemasan, depresi, bahkan timbul pikiran untuk mengakhiri hidup akibat rasa malu.
Hal itu diperparah ketika seseorang telah menyebarkan konten asusila bersifat nonkonsensual di internet. Pasalnya, jejak digital tidak akan pernah hilang.
Penanganan KBGO saat ini masih harus ditingkatkan, terlebih bagi UPTD dan Pengada Pelayanan sebagai unit yang aktif mendampingi korban.
"Diharapkan dengan adanya pertemuan hari ini, kita semua bisa semakin paham bagaimana menghadirkan barang bukti ketika kita melaporkan kasus KBGO dan kemana kita melapor. Karena kita tahu banyak kasus KBGO yang tidak dapat dilanjutkan oleh pihak penyidik karena barang bukti yang diberikan kurang lengkap,” ujar Valentina.
2.Kuatkan tuntutan korban dengan alat bukti yang ada

Sementara itu, Koordinator Multistakeholder Advisory Group Indonesia Internet Governance Forum (ID-IGF), Mariam F. Barata, menegaskan bahwa mengumpulkan alat bukti merupakan hal yang penting.
Bukti tersebut mulai dari teks, foto, video, rekaman suara, grafik, simbol, email, peta, dan kode akses dapat dijadikan alat bukti, yang nantinya digunakan untuk memperkuat tuntutan atau gugatan dari korban.
“Perempuan biasanya takut untuk melaporkan ancaman fisik atau kekerasan yang mereka dapat, ragu untuk melakukan konsultasi hukum untuk menyelesaikan masalah karena rasa takut," ucap Mariam.
"Oleh karenanya, pendamping harus bekerja sama dengan korban, berbicara, karena barang bukti bisa merugikan korban di kemudian hari. Peran pendamping sangat penting supaya korban mau menyerahkan barang bukti dan melapor kepada aparat penegak hukum atau lembaga yang berperan melakukan pendampingan,” sambungnya.
Jika seseorang megalami KGBO, maka pengaduan bisa dilakukan melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang menyediakan layanan pengaduan pemeriksaan perangkat digital forensic bagi APH, masyarakat, praktisi, dan lainnya, serta layanan pengaduan atau pelaporan terhadap penegakan hukum UU ITE.
3. Kerja polisi dalam basmi KBGO, salah satunya patroli siber

Sementara, Kanit Subdit I Dittipidsiber Bareskrim Polri, Rumi Untari, menjelaskan bagaimana upaya pihak kepolisian dalam menangani kasus KBGO, mulai dari proses penyidikan dengan pemeriksaan untuk mendapatkan alat bukti dari pelaku kejahatan.
Kemudian, patroli siber dengan mengawasi secara daring di dunia maya, terutama akun media sosial. Ketiga, forensik melalui pengolahan secara computer forensic ataupun digital forensic terhadap barang bukti kejahatan siber.
Lebih lanjut, Rumi menegaskan upaya pemenuhan SDM dan sarana prasarana yang responsif gender dalam penanganan kasus KBGO, khususnya pada Unit PPA yang nantinya menjadi Direktorat PPA.
Rumi mengatakan ke depan, polisi akan terus meningkatkan pelayanan kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi lebih baik.