Santriwati di Pamekasan dan Mamuju Jadi Korban Kekerasan Seksual

Jakarta, IDN Times - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyesalkan terjadinya kekerasan seksual di sekolah berbasis agama yang kembali terulang.
Dalam catatan KemenPPPA ada dua kasus yang terungkap di pondok pesantren Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur dan sekolah madrasah di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Hal ini dinilai tidak bisa ditoleransi.
Kasus kekerasan seksual dengan tindak pidana pencabulan di Pamekasan menimpa tiga korban santriwati, sedangkan di Mamuju ada tujuh murid perempuan madrasah yang menjadi korban.
“Pelakunya adalah pendidik yang seharusnya mengasuh, mengayomi, dan mengajarkan ilmu agama, justru melakukan pelecehan dan kekerasan seksual pada anak didiknya. KemenPPPA mengecam keras kasus kekerasan seksual pada anak, ini adalah tindak kejahatan serius,” kata Deputi Perlindungan Khusus Anak, KemenPPPA Nahar, Rabu (9/2/2022).
1. Pelaku pada dua kasus di dua pesantren ini sudah diamankan

Kedua kasus ini sudah ditangani oleh Kepolisian Resor (Polres) Pamekasan dan Kepolisian Resor Kota (Polresta) Mamuju. Pelaku dari dua kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah agama yang berbeda ini juga sudah diamankan.
Lembaga yang bergerak di bidang penanganan kasus kekerasan seksual daerah juga turut terlibat, mulai dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPTP3A) Kabupaten Pamekasan dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Sulawesi Barat. Dua lembaga ini melakukan penjangkauan terhadap korban.
2. Pelaku bisa dijerat dengan hukuman pidana hingga 15 tahun penjara

KemenPPPA meminta agar aparat penegak hukum dapat memberi hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Merujuk pada kronologis perkara, selanjutnya pelaku dapat dijerat dengan Pasal 82 Ayat (1), (2), dan (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun.
Selain itu dapat dikenakan denda paling banyak Rp5 miliar ditambah sepertiga dari ancaman pidana dan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku serta tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
3. Sudah ada terapi psikologis bagi korban dan pendampingan

Kemen PPPA telah berkoodinasi dengan UPTD PPA Provinsi Sulawesi Barat dalam upaya asesmen korban serta PPTP3A Kabupaten Pamekasan yang telah berkunjung dan memberi terapi psikologis kepada para korban, membantu untuk mendampingi korban kembali menempuh pendidikan atau latihan kerja atau kembali ke pesantren, serta melakukan pendampingan proses hukum sampai di persidangan.
“Kemen PPPA akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, mulai dari proses hukum hingga reintegrasi sosial korban ke lingkungan masyarakat. Proses pemulihan korban sangat perlu dan menjadi perhatian serius kami,” kata Nahar.
4. Sekolah berbasis agama harus lakukan pencegahan kasus serupa

Nahar mendesak seluruh pendidik di sekolah berbasis agama harus melakukan pencegahan dan pengawasan perlindungan anak dari kekerasan, khususnya kekerasan seksual.
Masyarakat dan instansi yang berwenang diharapkan juga tidak lalai melakukan pengawasan. Orang tua mempercayakan anak mengikuti pendidikan di sekolah berbasis agama dengan harapan anak akan mendapat ilmu keagamaan yang mumpuni karena mendapat didikan dari para pihak yang sudah berpengalaman dalam keilmuan.
Sekolah berbasis agama seperti pesantren diyakini sebagai tempat yang aman, namun akhir-akhir ini tindakan keji dari berbagai pendidik telah merusak citra baik pesantren dan sekolah berbasis agama lainnya.