KemenPPPA Ungkap Masih Banyak Aturan Daerah Diskriminasi Perempuan

Jakarta, IDN Times- Plt. Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Rini Handayani menjelaskan, ada banyak kebijakan daerah yang diskrimatif pada perempuan. Data ini dicatat Komisi Nasional Anti Kekeraasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Sepanjang 2009-2024, dari 450 kebijakan diskriminatif, 56 persen di antaranya menyasar perempuan. terdapat 292 kebijakan yang masih berlaku dan 158 kebijakan yang tidak berlaku.
Berdasarkan dari alat analisis dan rekomendasi bersama, sebanyak 292 kebijakan masih berlaku.
“Kemen PPPA sudah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2024 tentang Percepatan Penyelenggaraan Pengarusutaan Gender dalam Pembangunan Nasional, di dalamnya juga disampaikan terkait percepatan tindak lanjut analisis peraturan atau kebijakan daerah yang diskriminatif,” kata dia, dikutip Senin (28/10/2024).
1. Ada kebijakan yang atur busana dan kontrol tubuh perempuan

Dari data yang ada itu, dia menjabarkan sebagai besar kebijakan yang masih berlaku tersebut, pertama ada 101 kebijakan ditetapkan untuk mengatasi isu-isu seperti prostitusi, pelacuran, gelandangan, dan berbagai penyakit masyarakat lainnya.
Selain itu, terdapat 52 kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan busana dan kontrol terhadap tubuh perempuan, serta 32 kebijakan yang secara khusus melarang praktik Ahmadiyah. Qanun Aceh menjadi salah satu aspek penting dengan 14 kebijakan yang diusulkan menjaga nilai-nilai lokal.
Kemudian ada 60 kebijakan yang mewajibkan masyarakat membaca dan menulis Al-Quran, menunjukkan upaya memperkuat pendidikan agama. Kebijakan mengenai ketahanan keluarga juga diatur dengan 20 kebijakan.
Sementara, pengaturan kehidupan beragama dan kebebasan beragama diakui dengan 11 kebijakan. Terakhir, meskipun jumlahnya sangat terbatas, terdapat satu kebijakan yang berkaitan dengan administrasi kependudukan dan satu kebijakan terkait tenaga kerja.
Kebijakan-kebijakan ini dinilai, mencerminkan beragam perhatian yang diberikan pemerintah terhadap isu sosial, agama, dan pendidikan.
2. Perkuat SDM yang buat kebijakan

Rini menjelaskan, langkah yang dilakukan KemenPPPA salah satunya adalah memperkuat kapasitas sumber daya manusia yang menyusun peraturan perundangan. Hal ini agar penyusun aturan paham parameter kesetaraan gender bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), yang memiliki tugas dan fungsi untuk menyelenggarakan pelatihan masif kepada para penyusun kebijakan.
“Kedua, melalui Kementerian Dalam Negeri, kami juga memberikan rekomendasi terkait rancangan peraturan daerah yang diusulkan oleh pemerintah provinsi,” kata dia.
3. Ideologi menjadi dasar peraturan daerah diskriminatif

Sementara, Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, pihaknya menemukan lima kategori kebijakan diskriminatif yang merugikan perempuan.
Pertama, terdapat kriminalisasi yang berkaitan dengan ketertiban umum dan pornografi. Kedua, ada pengaturan kontrol tubuh, seperti pemaksaan busana sesuai ajaran agama tertentu. Ketiga, kebijakan pembatasan agama yang menargetkan kelompok minoritas.
Selanjutnya, kategori pengaturan kehidupan beragama mencakup pemaksaan ibadah sesuai pemahaman tertentu. Terakhir, ada pengaturan tenaga kerja, yang mewajibkan buruh migran meminta izin dari suami dan minimnya perlindungan bagi mereka.
Kebijakan-kebijakan ini dinilai, mencerminkan diskriminasi sistemik yang perlu diatasi untuk mencapai kesetaraan gender.
“Menurut saya salah satu upaya paling krusial yang bisa mengubah peraturan daerah diskriminatif ini adalah mengenali cara diskriminasi bekerja. Tanpa hal ini, peraturan daerah diganti, direvisi, atau dicabut, tetapi cara pandangnya belum tuntas, terutama terkait ideologi,” kata dia.
Maria menjelaskan, ideologi menjadi dasar peraturan daerah diskriminatif, yang memicu aksi pembatasan atau pengabaian hak-hak warga negara. Aksi ini, baik yang bermaksud baik maupun tidak, berujung pada kebijakan diskriminatif yang merugikan masyarakat. Hal ini menunjukkan dampak serius dari ideologi dalam pembuatan kebijakan.