Kemiskinan dan Stunting di NTT Tertinggi, Wihaji Kuatkan Sinergi

- Tingkat kemiskinan di NTT mencapai 19,48 persen
- Angka prevalensi stunting di NTT mencapai 37 persen, tertinggi kedua secara nasional
Jakarta, IDN Times - Kemiskinan ekstrem dan stunting masih menjadi dua tantangan besar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024, tingkat kemiskinan di NTT mencapai 19,48 persen sehingga menjadikannya salah satu dari tiga provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Selain itu, angka prevalensi stunting di NTT tercatat sebagai yang tertinggi kedua secara nasional dengan angka mencapai 37 persen dari jumlah penduduk.
"Angka ini menunjukkan betapa mendesaknya penanganan kemiskinan dan stunting secara menyeluruh," ujar Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Wihaji, di Gedung Kemendukbangga, Senin (13/1/2025).
1. Sinergi agar berdampak nyata

Sebagai langkah strategis, pemerintah mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Pemerintah melalui Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN menginisiasi program kolaboratif lintas kementerian dan lembaga.
"Sinergi ini penting agar setiap langkah yang diambil memiliki dampak nyata bagi masyarakat," kata Wihaji.
2. Kolaborasi dengan universitas

Selain itu, Kemendukbangga melibatkan Universitas Brawijaya (UB) dan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dalam mendukung program ini.
Kolaborasi dengan perguruan tinggi dinilai penting untuk mengintegrasikan riset dan inovasi dalam upaya penurunan stunting dan kemiskinan.
"Pendekatan berbasis data dan ilmu pengetahuan akan membantu kita membuat kebijakan yang lebih tepat sasaran," kata Wihaji.
3. Data yang akurat bisa mengidentifikasi masalah

Wihaji menekankan, pendekatan berbasis data riil per keluarga akan diterapkan. Data tersebut akan digunakan untuk membangun ketahanan pangan lokal yang tidak hanya berfokus pada konsumsi pangan bergizi, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi berkelanjutan.
"Dengan data yang akurat, kita bisa mengidentifikasi masalah dan mengatasi akar permasalahan secara lebih efektif," kata dia.
Diversifikasi pangan lokal seperti kelor, jagung, dan sorgum menjadi salah satu strategi utama dalam program ini. Selain itu, pemerintah juga mendorong pemberdayaan UMKM berbasis komunitas.
"Mengoptimalkan sumber daya lokal adalah langkah krusial untuk mendorong kemandirian ekonomi," ujar Wihaji.