Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Koalisi Masyarakat Sipil: Perpres Perlindungan Jaksa Tidak Urgent

Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto menemui Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Rabu (12/3/2025). (dok. Puspenkum Kejagung)
Intinya sih...
  • Presiden menerbitkan Perpres No. 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara Terhadap Jaksa
  • Koalisi Masyarakat Sipil menilai perpres tidak urgent dan tidak dibutuhkan, karena belum ada realitas ancaman terhadap keamanan nasional yang memerlukan pelibatan TNI
  • Perpres dinilai sebagai bentuk kamuflase hukum atas kesalahan Panglima yang mengerahkan pasukan TNI ke Kejaksaan

Jakarta, IDN Times - Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara Terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia (Perpres 65/2025).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, Perpres 66/2025 tidak urgent dan tidak dibutuhkan.

Dalam sistem presidensial, tanpa ada Perpres 66/2025, Presiden dinilai dapat memerintahkan Jaksa Agung untuk memperkuat sistem keamanan internal yang dimiliki kejaksaan atau dapat meminta kepolisian untuk terlibat dalam bantuan pengamanan.

“Hingga saat ini belum ada realitas ancaman yang nyata terhadap keamanan nasional terkait dengan kondisi kejaksaan yang mengharuskan Presiden membuat perpres,” kata Ketua Setara Institut, Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (23/5/2025).

1. Telegram KSAD dinilai dipenuhi dengan banyak permasalahan

Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal Maruli Simanjuntak (IDN Times/Rangga Erfizal)

Ia menilai, kondisi kejaksaan masih dalam keadaan normal menangani kasus-kasus hukum yang ada dan tidak ada ancaman militer yang mengharuskan Presiden ataupun Panglima TNI mengerahkan militer (TNI) ke kejaksaan.

“Dengan demikian Perpres 66/2025 tidak memiliki urgensi dan tidak proporsional dalam hal pelibatan TNI,” ujar Hendardi.

Ia memandang lahirnya Perpres ini tidak bisa dilepaskan dari masalah Surat Telegram Panglima/KSAD yang mengerahkan hampir enam ribu personil TNI ke Kejaksaan. Perpres 66/2025 dinilai bentuk kamuflase hukum atas kesalahan Panglima yang melakukan pengerahan pasukan TNI ke Kejaksaan.

“Hal ini disebabkan karena Perpres 66/2025 lahir setelah diterbitkannya Telegram KSAD yang dipenuhi dengan banyak permasalahan,” ujar dia.

2. Koalisi Masyarakat Sipil singgung kenaikan pangkat Seskab Teddy

Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya ketika keluar meninggalkan rumah duka Najwa Shihab di Cilandak Timur. (IDN Times/Santi Dewi)

Hendardi menilai, Perpres 66/2025 Ini adalah model politik fait accompli yang sama sekali tidak sehat dan berdampak buruk bagi demokrasi. Seharusnya kata dia, yang dilakukan oleh Presiden adalah mencabut surat telegram tersebut dan bukan malah membentuk Perpres 66/2025.

“Dalam konteks ini Presiden seolah-olah sedang membenarkan kesalahan Panglima TNI dengan jalan menerbitkan Perpres 66/2025,” ujar dia.

Praktik kekuasaan dalam menjalankan hukum dinilai akan berdampak buruk pada negara hukum dan demokrasi karena kesalahan hukum bukannya dikoreksi, tetapi justru dilegalisasi.

“Praktik politik semacam ini sebelumnya pernah dilakukan dalam kasus Pengangkatan Letkol Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab),” ujar Hendardi.

Kesalahan mengangkat Letkol Teddy pada sebagai Seskab pada 21 Oktober 2024 justru diikuti dengan perubahan kebijakan dalam bentuk terbitnya Perpres 148/2024 tanggal 05 November 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara yang melegalisasi jabatan Seskab dapat diisi oleh Prajurit TNI aktif.

3. Pandangan Koalisi Masyarakat Sipil terhadap Perpres 66

Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung-Rano Karno menemui Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jumat (7/3/2025) siang. (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Koalisi memandang, penerbitan Perpres 66/2025 membuka ruang kembalinya Dwifungsi TNI. Perpres 66/2025 membawa milter masuk jauh ke wilayah sipil yakni ke kejaksaan.

Padahal kejaksaan merupakan aparat penegak hukum yang melaksanakan kewenangan penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang, sedangkan TNI secara tegas dan jelas merupakan alat pertahanan negara yang diatur di dalam konstitusi.

“Kegagalan untuk memisahkan penegakan hukum (urusan dalam negeri) dan urusan pertahanan adalah langkah nyata membangkitkan Dwifungsi TNI itu sendiri,” ujar Hendardi.

Koalisi juga memandang, Perpres ini tidak menjadikan UU TNI maupun UU Polri sebagai rujukan pembentukan di dalamnya. Padahal substansi perpres banyak mengatur tentang pelibatan TNI dan Polri dalam pengamanan Kejaksaan.

Konsideran Perpres 66/2025 hanya mencantumkan Pasal 4 ayat (1) UUD NKRI 1945 sebagai dasar hukum pembentukan Perpres, sehingga Perpres ini sama sekali tidak menunjukkan kejelasan tentang pengerahan pasukan TNI dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU TNI.

Perpres 66 juga sama sekali tidak menjelaskan secara jelas  kategori OMSP yang dijadikan dasar keterlibatan TNI. Mengingat ketentuan Pasal 7 UU TNI hanya membatasi OMSP ke dalam 16 jenis sedangkan melindungi tugas dan fungsi Kejaksaan tidak termasuk di dalam 16 jenis OMSP tersebut.

“Hal ini tentu menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuatan militer karena tidak ada pembatasan yang jelas dan tegas tentang ruang gerak TNI itu sendiri,” kata dia.

Perpres 66 dinilai tidak sesuai dengan ketentuan hukum, karena menempatkan TNI melampaui ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Merujuk pada Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2025  bahwa ‘Yang dimaksud dengan jabatan pada Kejaksaan Republik Indonesia’ adalah jabatan pada Kejaksaan Republik Indonesia di bidang pidana militer’.

Sehingga keterlibatan TNI dalam tubuh Kejaksaan hanya terbatas pada bidang pidana militer dan bukan melebar hingga mencakup ranah pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan lainnya.

“Kami menilai penerbitan Perpres 66/2025 tidak urgent dan tidak di butuhkan. Sekalipun presiden memiliki kewenangan membentuk Perpres, tetapi pembentukan Perpres tetap harus diletakkan dalam tata pembentukan perundang-undangan yang benar,” ujarnya.

“Oleh karena itu, sudah sepatutnya pembentukan Perpres 66/2025 yang tidak tunduk pada norma dan tatanan hukum yang benar dievaluasi dan ditinjau ulang kembali oleh Presiden dan DPR,” lanjutnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us