Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kriminolog: Penjarahan Rumah Anggota DPR Tidak Bersifat Spontan

Anggota Ombudsman Adrianus Meliala (IDN Times/Fitang Budhi Adhitia)
Anggota Ombudsman Adrianus Meliala (IDN Times/Fitang Budhi Adhitia)
Intinya sih...
  • Pakar kriminologi UI menyebut penjarahan rumah anggota DPR tidak spontan, melainkan terencana dan terorganisir.
  • Penjarahan terbatas menunjukkan adanya targeted looting yang direncanakan sebelumnya, dipengaruhi oleh konten digital viral dan trigger tertentu.
  • Persidangan etik MKD berawal dari video viral di YouTube yang menampilkan anggota DPR berjoget karena RUU Perampasan Aset batal disahkan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pakar kriminologi Universitas Indonesia (UI), Adrianus Meliala, menyebut penjarahan rumah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir Agustus lalu tidak bersifat spontan. Menurutnya, penjarahan yang terbatas pada target-target tertentu justru mengindikasikan adanya pola yang terencana dan terorganisir.

"Kita mengenal situasi seperti ini sebagai limited looting atau penjarahan terbatas. Ada 10 rumah, tapi hanya rumah-rumah tertentu yang dijarah. Ini menunjukkan adanya targeted looting, penjarahan yang memang ditargetkan, bukan spontan," ujar Adrianus, saat menjadi saksi ahli dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, Senyan, Jakarta, Senin (3/11/2025).

Adrianus menjelaskan penjarahan seperti ini bersifat predestin atau dipredestinasi, artinya direncanakan dan dipersiapkan sebelumnya. Dia pun menganalisis penyebab terjadinya penjarahan isi rumah anggota DPR dan memaparkan proses bertahap yang mendahuluinya.

Proses pertama, kata Adrianus, adalah pembentukan collective feeling. Dia menyoroti peran konten-konten digital yang viral dalam membentuk sense of injustice atau perasaan tidak adil di kalangan masyarakat. Proses ini yang disebut sebagai "pekerjaan kognisi" yang melibatkan pembuatan narasi, editing video, dan audio yang dirancang khusus untuk memengaruhi persepsi dan emosi penerimanya.

Proses kedua, adalah pencetus (trigger). Setelah kondisi psikologis masyarakat terbentuk, barulah trigger atau pencetus berperan. Ia mencontohkan dengan ajakan untuk berkumpul dan menyerang tempat tertentu. Tanpa adanya collective feeling yang telah terbentuk sebelumnya, trigger tidak akan efektif.

"Bahkan yang terjadi adalah orang lalu menganggapnya sebagai hal yang aneh," kata dia dalam persidangan.

Sebelumnya, persidangan etik MKD ini berawal dari beredarnya sebuah video viral di platform YouTube. Video berdurasi 14 menit 41 detik yang diunggah di akun KajianOnline pada Sabtu, 27 September 2025 itu menampilkan narasi ratusan anggota DPR berjoget karena RUU Perampasan Aset batal disahkan.

Dalam video tersebut, terlihat sejumlah anggota DPR sedang berjoget di dalam ruang rapat paripurna. Adegan juga menampilkan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang tampak bersama pimpinan DPR dan MPR. Video itu tidak hanya berisi rekaman langsung, tetapi juga memuat sejumlah potongan berita yang disusun untuk mendukung narasinya.

Laporan Anggia Leksa

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us

Latest in News

See More

KPK Serahkan Jaksa yang Terciduk OTT ke Kejaksaan Agung

19 Des 2025, 00:25 WIBNews