Mahasiswa Tetap Ingin DPR Dibubarkan untuk Reformasi Legislatif

- Kondisi tidak baik-baik saja karena kekosongan oposisi
- Penonaktifan anggota DPR dianggap sebelah mata
- Ahli nilai istilah nonaktif sangat politis
Jakarta, IDN Times - Perwakilan Keluarga Mahasiswa UIN Jakarta, Najib Jayakarta menanggapi soal dinonaktifkannya sejumlah anggota DPR kontroversial yang menimbulkan kericuhan di berbagai daerah. Mereka, yakni Sahroni dan Nafa Urbach yang merupakan anggota DPR dari Partai NasDem. Kemudian, Eko Patrio dan Uya Kuya dari PAN, dan Adies Kadir dari Partai Golkar.
Najib menilai, penonaktifan anggota DPR oleh pimpinan partai politik hanya sekadar untuk menenangkan masyarakat. Terlebih dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) tak ada istilah anggota DPR dinonaktifkan.
Ia menegaskan, sebenarnya yang disuarakan mahasiswa ialah DPR dibubarkan untuk bisa dilakukan reformasi di lembaga legislatif.
"Kami melihatnya ini memang upaya menenangkan masyarakat saja dari para pimpinan parpol, sebenarnya yang diinginkan mahasiswa itu kan pembubaran DPR untuk dapat dilakukannya reformasi di badan legislatif," kata dia kepada IDN Times, Senin (1/9/2025).
1. Kondisi tidak baik-baik saja karena kekosongan oposisi

Najib pun tak memungkiri kondisi Indonesia saat ini memang sedang tidak baik-baik saja. Terlebih, kondisi pemerintah saat ini tidak memiliki oposisi yang lantang mengkritik.
"Menyebabkan pemerintah yang ugal-ugalan dalam menetapkan suatu kebijakan karena terus didukung oleh DPR. Banyak kebijakan nggak prorakyat, terus kalau ramai baru ditarik di kemudian hari dan menyebabkan munculnya pahlawan kesiangan," ujar dia.
2. Penonaktifan anggota DPR dianggap sebelah mata

Oleh sebab itu, mahasiswa menganggap sebelah mata upaya penonaktifan anggota DPR yang dilakukan oleh partai politik (parpol).
"Kondisi tersebut saja memperlihatkan bahwa segala kebijakan tidak pernah mendengarkan rakyat terlebih dahulu, jadi keputusan penonaktifan tersebut gak ada apa-apanya di mata kami mahasiswa," tutur Najib.
3. Ahli nilai istilah nonaktif sangat politis

Ahli Hukum Kepemiluan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Titi Anggraini menyoroti istilah yang dipakai pimpinan partai politik menonaktifkan sejumlah anggota DPR yang menuai kontroversi. Menurutnya, istilah nonaktif yang dipakai bermuatan sangat politis karena nonaktif bukan istilah hukum dan tidak diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).
"Kalau kita lihat dan kita cermati Undang-Undang MD3, Undang-Undang nomor 17 tahun 2014, maka sebenarnya istilah yang digunakan non-aktif itu istilah yang sangat politis, bukan istilah hukum begitu ya, sangat tricky," kata dia dalam keterangannya.
Mengacu pada Pasal 239 UU MD3, hanya ada tiga istilah yang disebutkan yakni pemberhentian antar waktu, pergantian antar waktu, dan pemberhentian sementara. Apabila kelima anggota DPR yang bermasalah itu digantikan posisinya, maka istilah yang tepat dipakai ialah pemberhentian antar waktu (PAW), bukan nonaktif.
"Pemberhentian antar waktu itu akan diikuti oleh penggantian antar waktu. Pemberhentian antar waktu itu hanya bisa dilakukan kalau dia mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan. Nah diberhentikan itu banyak faktor, karena melanggar mode etik sumpah janji jabatan, tidak mengikuti tugas-tugas sebagai anggota DPR tiga bulan berturut-turut," tuturTiti.
Kemudian, istilah pemberhentian sementara hanya untuk anggota DPR yang melakukan tindak pidana, maka dilakukan pemberhentian sementara yang berstatus sebagai terdakwa.
Titi menyampaikan, menurut UU MD3 istilah nonaktif secara spesifik hanya digunakan untuk pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan.
"Nonaktif itu hanya muncul satu kali di Undang-Undang MD3 kita, dan itu spesifik hanya untuk pimpinan MKD, yang diadukan ke MKD sehingga kemudian status pimpinannya itu di nonaktifkan sementara," tegasnya.
Titi meyakini, penggunaan istilah nonaktif lebih mengarah kepada konsep politis, ketimbang konsep hukum, di mana parpol hanya berupaya menenangkan publik.
"Seolah-olah masih merupakan kompromi untuk menenangkan publik, tapi tidak menjadi solusi yang betul-betul legal dan konstitusional untuk memproses orang-orang bermasalah," ujar dia.