Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mahfud: Masjid dan Taman Bakal Dibangun di Bekas Rumah Geudong Aceh

Sisa undakan anak tangga dari Rumah Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh. (Dokumentasi YLBHI)

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengatakan di area tempat berdirinya Rumah Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh, bakal dibangun masjid.

Selain itu, kata Mahfud, di lokasi yang sama juga bakal dilengkapi taman yang memuat sejarah kekejaman aparat militer ketika Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan di Aceh pada 1990 hingga 1998. 

"Di area ini merupakan dibangunnya Rumah Geudong, yang kemudian bakal dibangun masjid. Lalu, dilengkapi living park. Ini semua atas permintaan masyarakat dan usul keluarga korban," ungkap Mahfud ketika memberikan keterangan pers di Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa (27/6/2023). 

Pembangunan masjid itu, kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, merupakan salah satu langkah konkret pemerintah untuk memulihkan hak para korban dari pelanggaran HAM berat masa lalu. Tragedi Rumah Geudong merupakan satu dari 12 kejadian pelanggaran HAM berat masa lalu yang akhirnya diakui pemerintah. 

Di area itu masih tersisa sejumlah bangunan, seperti undakan anak tangga dan dua sumur. Di bagian depan dan belakang, kata Mahfud, juga pernah dibangun tugu peringatan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. 

"Posisi (tugu peringatan) nantinya akan digeser dan disesuaikan dengan penempatannya di area ini," ujarnya. 

Namun, baru memulai langkah pemulihan hak korban, kebijakan pemerintah sudah menuai kritik tajam dari Kelompok Masyarakat Sipil. Sebab, pemerintah bakal meratakan semua bangunan yang tersisa di area tersebut.

Mahfud membantah pemerintah meratakan sisa bangunan Rumah Geudong. Tetapi, Pemkab Pidie justru mengatakan sebaliknya. 

1. Mahfud sebut personel TNI-Polri bakal diberikan pemahaman HAM sebagai upaya pencegahan

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD saat berada di Kabupaten Pidie, Aceh. (Dokumentasi Kemenko Polhukam)

Lebih lanjut, implementasi dari rekomendasi Tim Penyelesaian non-yudisial Pelanggaran HAM (TPP HAM) berat masa lalu, yakni adanya upaya pencegahan agar tidak lagi terulang peristiwa yang sama. Dari sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat, terdakwa berasal dari kalangan militer dan kepolisian. 

Itu sebabnya salah satu rekomendasi dari TPP HAM memberikan pelatihan HAM bagi personel TNI dan Polri. Bahkan, pelatihan itu akan melibatkan dunia internasional.

"Presiden setuju kemarin (dengan rekomendasi ini) dan meminta agar saya segera mem-follow up ini, lalu mengkoordinasikannya dengan Panglima TNI dan Kapolri. Termasuk soal bagaimana kurikulumnya dan bentuk pelatihannya," ungkap Mahfud seperti dikutip dari YouTube Kemenko Polhukam, Januari 2023. 

Bahkan, Mahfud menyebutkan, tidak menutup kemungkinan pelatihan pemahaman mengenai HAM itu menjadi syarat masuk ke jabatan tertentu atau tugas tertentu. "Itu nanti semuanya akan diatur untuk lebih memastikan," katanya. 

2. Pemkab Pidie sebut sisa undakan anak tangga juga akan dihancurkan usai dilihat Jokowi

Warga melihat sisa tangga beton Rumoh Geudong (rumah gedung) di Desa Bilie Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, Aceh, Minggu (25/6/2023). (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Meski Mahfud menyatakan tidak ada pembongkaran terhadap sisa bangunan Rumah Geudong, tetapi Pemkab Pidie menyatakan hal berbeda. Penjabat Bupati Pidie, Wahyudi Adisiswanto, mengatakan anak tangga yang menjadi sisa bangunan Rumah Geudong memang tidak dihancurkan saat ini. Sebab, Jokowi bakal menyaksikan sisa bangunan tersebut. 

"Setelah itu akan dibersihkan," ungkap Wahyudi, di Pidie, Minggu, 25 Juni 2023. 

Ia menyebut Pemkab Pidie akan membangun masjid di atas lahan bekas Rumah Geudong yang kini sudah diratakan. Pembebasan lahan sudah selesai dilakukan dan ahli waris sudah merelakan lahan tersebut dibeli pemerintah untuk kepentingan masyarakat.

“Pemerintah daerah mengganti senilai Rp4 miliar dengan dana Belanja Tak Terduga (BTT) APBK Pidie 2023,” tutur Wahyudi. 

Sedangkan, bantuan untuk korban yang didasarkan pada Kartu Keluarga (KK) berjumlah 58. Bila merujuk kepada individu mencapai 133 jiwa. Ia juga menyebut dengan adanya pengakuan peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh, Wahyudi berharap, permasalahan tersebut sudah selesai.

"Jadi, ini penyelesaian nonyudisial. Ini semacam permohonan maaf dari pemerintah. Dan ini kan niat luhur dari pemerintah, sehingga peristiwa-peristiwa di masa silam tersebut bisa dilupakan dan tak terulang lagi. Kalau yudisial barangkali sama-sama saling menyalahkan. GAM menyalahkan pemerintah dan sebaliknya pemerintah juga menyalahkan GAM. Ini dianggap sudah selesai. Kita mulai generasi baru," katanya.

3. Penghancuran Rumah Geudong bukti pemerintah ingin hilangkan bukti pelanggaran HAM berat

Presiden Joko "Jokowi" Widodo ketika berdialog dengan korban pelanggaran HAM berat di Aceh pada 27 Juni 2023. (Dokumentasi Kemenko Polhukam)

Sementara, sejumlah kelompok Masyarakat Sipil mengecam sikap pemerintah yang bakal meratakan sisa semua Rumah Geudong. LBH Banda Aceh menduga penghancuran itu sebagai upaya menghilangkan bukti pelanggaran HAM yang terjadi di rumah tersebut.

"Upaya penghancuran sisa fisik bangunan yang sedang berlangsung di Rumoh Geudong adalah upaya negara untuk menghilangkan barang bukti fisik pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di lokasi tersebut. Ini salah satu sikap sistematis dan terencana negara dalam memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat," ungkap Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul, ketika memberikan keterangan kepada media pada 23 Juni 2023. 

Syahrul menjelaskan Rumoh Geudong merupakan tempat penyiksaan selama konflik bersenjata di Aceh berlangsung. Dia menilai pemerintah secara terang benderang telah menghancurkan, merusak, dan menghilangkan situs penting yang semestinya dapat menjadi barang bukti untuk kebutuhan yudisial.

Syahrul menduga pembentukan TPP HAM berat masa lalu yang dibentuk Jokowi merupakan kebijakan yang melanggengkan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal tersebut juga berlaku di Aceh. Persepsi itu seolah menjadi kenyataan, karena tidak ada pengungkapan kebenaran terkait pelaku dari peristiwa yang dinyatakan pelanggaran HAM berat oleh tim tersebut. 

"Sehingga tidak melahirkan rekomendasi apapun berkaitan dengannya. Padahal, peristiwanya jelas, korbannya jelas, tapi pelaku tidak terungkap sama sekali," tutur dia. 

"Pembentukam TPP HAM menunjukkan ketiadaan upaya dari negara untuk mencapai aspek kepastian hukum dalam tugas dan fungsi TPP HAM. Sehingga, berakibat pada kelanjutan impunitas pada orang atau kelompok yang diduga keras telah melakukan pelanggaran HAM berat di Indonesia," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Rochmanudin Wijaya
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us