Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mahfud: Penegak dan Pembuat Hukum Sekarang Sama Kacaunya

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD. (Tangkapan layar YouTube)
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD. (Tangkapan layar YouTube)
Intinya sih...
  • Pembentukan hukum kacau dengan 4 ciri otokratik legalism
  • Fenomena peradilan sesat akibat suap dan penyanderaan hukum
  • Institusi polisi tetap diperlukan untuk penegakan hukum yang baik

Jakarta, IDN Times - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menyoroti upaya penegakan hukum saat ini yang masih compang-camping. Salah satu indikatornya ditunjukkan tidak semua pejabat tinggi yang terseret kasus hukum ikut diselidiki. Padahal, sudah ada pengakuan di ruang pengadilan soal keterlibatan para pejabat tinggi yang diduga ikut menerima uang suap.

"Di Indonesia itu, yang membuat (hukum) dan menegakkan hukum sama kacaunya sekarang. Kalau hukum benar-benar ditegakkan, maka orang yang tersangkut kasus-kasus korupsi tidak mungkin akan lolos," ujar Mahfud ketika berbicara di program 'Meet The Leaders' di Universitas Paramadina dan dikutip pada Minggu (29/6/2025).

"Padahal, sudah jelas kok orang (tersangka) sudah mengaku dapat uang dari sini, sini dan sini tapi ndak diproses karena belum dapat lampu hijau dari satu tempat," katanya.

Di lain kesempatan, penegak hukum sudah nyaris meringkus seorang pejabat tetapi urung dilakukan. Mahfud pun secara blak-blakan menyebut itu potret penegakan hukum yang kini terjadi di Tanah Air.

Padahal, menurut laporan Bank Dunia tahun 2025, kemakmuran suatu negara, 44 persen ditentukan oleh penegakan hukum yang baik. Sisanya 43 persen ditentukan oleh faktor lain seperti organisasi, tata aturan, hingga institusi. Sementara, satu persen orang paling kaya di Indonesia hanya berkontribusi 23 persen terhadap kesejahteraan negara.

"Jadi, kalau hukumnya kacau (kontribusi) 23 persen ini gak ada gunanya. Ya, seperti sekarang lah!" imbuhnya.

1. Empat kekacauan dalam pembentukan hukum

Ilustrasi gedung DPR di Senayan. (IDN Times/Kevin Handoko)
Ilustrasi gedung DPR di Senayan. (IDN Times/Kevin Handoko)

Lebih lanjut, Mahfud menjelaskan compang-camping ketika pembuatan hukum. Studinya kini ramai disebut sebagai otokratik legalism.

"Itu adalah suatu pembuatan hukum yang dikuasai oleh sepihak dari golongan penguasa yang punya empat ciri-ciri," ujar Mahfud.

Ciri pertama, jika penguasa ingin melakukan sesuatu tetapi tidak ada aturan hukum, maka peraturan itu akan dibuat secara sepihak. Padahal, pembentukan dan penyusunan undang-undang berawal dengan mendengar aspirasi publik.

"Bagaimana naskah akademiknya gak jelas, dibuat aja karena pemerintah ini ingin undang-undangnya dibuat," tutur dia.

Ciri kedua, kalau hukumnya sudah ada tetapi tidak mengakomodir kepentingan segelintir penguasa, maka aturan tersebut akan diubah. Tapi, proses revisi undang-undang dilakukan secara diam-diam.

"Seperti UU MK yang mau direvisi diam-diam. Makanya, hingga saya berhenti jadi menteri, revisi UU itu tidak pernah saya dukung. Kalau sekarang masih tetap mau diubah, itu hal lain. Tapi, selama saya jadi Menko, saya tolak!" katanya.

Ciri ketiga, bila aturan baru tidak bisa dibuat atau hukum yang sudah ada tak dapat diubah, maka aturan tersebut digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tujuan akhirnya agar undang-undang itu dibatalkan oleh hakim konstitusi.

Ciri keempat, bila proses judicial review di MK juga menemui jalan buntu, kata Mahfud, maka masuk lewat delegasi perundang-undangan. "Jadi, gimana caranya? Buat Perpres, PP (Peraturan Pemerintah), Perda secara sepihak. Tapi kan ada mekanismenya sesuai peraturan pembentukan perundang-undangan," tutur dia.

Maka, MK mewajibkan dalam pembentukan aturan harus ada partisipasi bermakna dari publik. Karena pihak yang paling merasakan dampaknya adalah rakyat.

2. Fenomena peradilan sesat kini lazim terjadi

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD. (Tangkapan layar YouTube Mahfud MD Official)
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD. (Tangkapan layar YouTube Mahfud MD Official)

Mantan Ketua MK itu juga menyoroti fenomena peradilan sesat di Tanah Air. Ia mengutip isi buku yang ditulis oleh Herman Mustar yang berjudul 'Peradilan yang Sesat.'

Salah satu penyebab fenomena yang kini jamak terjadi di pengadilan adalah praktik suap menyuap. Kedua, penyanderaan hukum.

"Misalnya Pak Wijayanto (akademisi Paramadina) pakai uang negara ke sana, nanti sesudah itu saya bisa berlaku sewenang-wenang, maka Anda harus diam (tak boleh melaporkan). Bila Anda tidak diam lalu Anda melakukan itu, maka saya yang langsung memasukan Anda ke penjara," tutur Mahfud.

Lantaran tersandera secara hukum maka individu lain tidak berani melaporkan praktik korupsi yang diketahuinya. Hal itu juga menimpa hakim.

"Hakim-hakim sekarang pada ketakutan karena uang Zarof Ricar senilai Rp950 miliar dan 51 kilogram emas diputus oleh pengadilan disita sebagai barang bukti oleh negara untuk menyusun proses peradilan baru," katanya.

Uang senilai Rp1 triliun itu dijadikan barang bukti untuk tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan mudah untuk dilacak ke hakim mana saja uang itu rencananya diberikan. Sebab, Zarof disebut memiliki catatan uang tersebut akan diberikan ke hakim mana saja.

3. Institusi polisi masih dibutuhkan untuk penegakan hukum

Ilustrasi lapor polisi. (Dok. Polda Jabar)
Ilustrasi lapor polisi. (Dok. Polda Jabar)

Lebih lanjut, Mahfud turut menyinggung institusi Polri yang kini mendapat sorotan luas dan buruk dari publik. Meski begitu, Mahfud mengingatkan personel Polri yang tidak baik itu merupakan oknum.

"Walaupun disebut oknum, tetapi di kantor polisi atau Mabes Polri itu banyak, tapi itu tetap oknum bukan institusi," kata mantan Menteri Pertahanan itu.

Ia pun kemudian menyampaikan realita bila institusi kepolisian dibubarkan. Ia mengambil contoh peristiwa di Brasil pada 2017 lalu di mana semua personel kepolisian memilih melakukan mogok kerja karena kerap dimaki oleh publiknya.

"Alhasil, perampokan terjadi, pembunuhan hingga penjarahan terjadi. Ketika mau melapor, mau ke mana? Kata polisi kami sedang mogok (kerja)," tutur dia.

Ia pun mendorong publik untuk hati-hati ketika mengusulkan pembubaran kepolisian. Sebab, di dalam konstitusi, Polri merupakan salah satu instrumen penegakan hukum.

"Sehingga yang dibutuhkan adalah penataan yang baik, bukan obrak-abrik dan merusaknya," imbuhnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us