Menengok 79 Muslim Rohingya yang Terdampar di Aceh

Oleh Windy Phagta dan Habil Razali
BIREUEN, Indonesia —Beralas sederhana, puluhan warga muslim Rohingya asal Myanmar tidur pulas di ruangan menyerupai ruang kelas di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Cot Gapu, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh.
Sabtu, 21 April 2018 subuh, sebelum matahari terbit, sejumlah pria bangun dari tidurnya. Mereka bergegas mengambil wudu untuk menunaikan salat subuh. Usai salat, mereka duduk termenung menunggu matahari muncul.
Sebagian dari mereka berulang kali berjalan berlalu-lalang, tanpa tujuan. Ada yang memilih bersantai sambil bercengkrama dengan temannya di depan ruangan. Masih di tempat yang sama, sebagian dari mereka menyantap makanan ringan yang sebelumnya diberikan oleh petugas.
Tidak terpaut jauh dari ruangan itu, sebuah mobil tangki air milik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bireuen terparkir. Di sampingnya, berdiri sebuah tenda yang berfungsi sebagai dapur umum. Petugas di sana mulai bekerja menyiapkan sarapan kepada pengungsi.

Saat hari mulai terang, matahari sudah terlihat, para pengungsi pria segera mandi. Selain itu, mereka juga mencuci pakaian. Ataupun sekadar menggosok gigi dan cuci muka bagi mereka yang agak malas mandi di pagi itu.
Berbeda dengan pria, warga Rohingya perempuan lebih dulu mengurus anak mereka. Misalnya memandikan sang anak dan membuang popok anak. Popok dikeluarkan dari ruangan tempat mereka menginap. Bau tak sedap menyeruak ke udara. Tampaknya sepanjang malam tadi popok itu dibiarkan di dalam ruangan.
Ruangan tempat pengungsi perempuan tinggal, tampak sederhana sekali. Ibu dan anak tidur beralaskan terpal. Kondisinya sangat kotor dan bau. Saat sang ibu sibuk dengan pekerjaannya, anak-anak asik bermain balon dan berlarian di halaman depan ruangan.
Tidak ada aktivitas berarti dari 79 pengungsi muslim Rohingya asal Myanmar di tempat pengungsian mereka di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Cot Gapu, Bireuen. Mereka dipindahkan ke sana pada Jumat, 20 April sore. Sebelumnya, mereka diistirahatkan sementara di warung rekreasi Pantai Kuala Raja, Kecamatan Kuala, Kabupaten Bireuen, tempat mereka pertama kali berlabuh di tanah Serambi Mekah.
Terdampar dan kelelahan
Pada Jumat, 20 April 2018, sekitar pukul 14:00 WIB, sebanyak 79 muslim Rohingya terdampar di Pantai Kuala Raja. Mereka ditarik oleh nelayan setempat ke bibir pantai. Mereka tampak kelelahan. Bahkan, lima orang dari mereka harus segera diinfus begitu menyentuh daratan.
Dari jumlah 79 orang, mereka terdiri dari 44 pria, 27 perempuan, dan delapan anak-anak. Kapal yang mereka tumpangi digiring oleh kapal nelayan Aceh saat berada di perairan untuk melabuh di bibir Pantai Kuala Raja.

Saat tiba di pantai, nelayan dan warga setempat dengan cepat mengevakuasi mereka ke pondok rekreasi yang berada di pantai. Di sana, mereka diberikan minuman dan makanan. Bantuan dari pemerintah setempat pun berangsur masuk.
Sekitar pukul 17:30 WIB, mereka dipindahkan ke SKB Cot Gapu sebagai tempat pengungsian sementara. Pemerintah Kabupaten Bireuen mengatakan siap menampung mereka untuk sementara waktu. Di SKB, 44 pengungsi pria diinapkan dalam dua ruangan berbeda.
Empat perempuan berada dalam sebuah ruangan dengan jarum infus masih menancam di tangannya. Mereka mendapat perawatan medis karena terserang dehidrasi. Sedangkan perempuan lain dan anak-anak ditempatkan dalam sebuah ruangan yang sedikit lebih luas.
“Sesuai arahan, mereka harus ditempatkan di tempat yang layak, kami arahkan ke sini, untuk logistik kami yang bertanggung jawab di sini dari Dinas Sosial Kabupaten Bireuen,” ujar Koordinator Taruna Siaga Bencana (Tagana) Bireuen, Zulfikar, Sabtu, 21 April 2018.
Tagana Dinas Sosial Bireuen menyiapkan 15 anggotanya untuk memenuhi logistik para pengungsi. Mereka juga menyiapkan nasi, mie instan, ikan sarden, dan telur mata sapi.
Terombang-ambing di laut
Dari 79 pengungsi Rohingya, tidak banyak yang bisa diajak mengobrol. Penyebabnya adalah terkendala bahasa. Mereka tidak bisa bahasa Inggris, apalagi Indonesia. Beruntung, Muhammad Rafik mampu bahasa Melayu. Namun, dia tidak begitu lancar. Setiap kalimat yang dia ucapkan terdengar terbata-bata.
Dari dirinya, Rappler mendengar cerita mengapa mereka kabur dari tanah kelahirannya, sempat terombang-ambing di laut, hingga diselamatkan nelayan di Bireuen.
Delapan hari sebelum tiba di Aceh, dari Rohingya, Myanmar dengan menggunakan sebuah perahu kayu mesin, mereka memilih kabur ke Malaysia melalui jalur laut. Mereka membayar sejumlah uang kepada agen yang menjanjikan akan membawa mereka untuk berlabuh di Negara Malaysia.

Saat melewati perairan laut Thailand, mereka sempat diusir dan melanjutkan perjalanan ke Malaysia. Namun di Malaysia mereka juga tidak dibolehkan berlabuh, sehingga memasuki perairan laut Aceh dan digiring oleh nelayan Bireuen ke daratan.
"Kami sudah keluar Myanmar. Kami sempat merapat ke Thailand tapi dihadang. Kemudian ke Malaysia juga dihadang," kata Muhammad Rafik, saat ditemui di pengungsian SKB Cot Gapu, Sabtu.
Rafik mengatakan mereka kabur dari Myanmar karena negaranya terus terjadi konflik dan pembantaian terhadap etnis muslim Rohingya. Mereka kabur dengan tujuan agar bisa menjalani kehidupan yang lebih layak.
"Meninggalkan Myanmar karena di sana konflik-konflik saja. Tentara Myanmar menembaki warga," lanjutnya.
Rafik mengaku memiliki anak dan istri di Malaysia. "Satu istri di Malaysia dan di sini satu (Bireuen). Pekerjaan saya membuat batu bata," tambahnya.
Telah didata
Pelaksana Harian (PLH) Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Kota Lhokseumawe, Yahya Ansari, ditemui di lokasi pengungsian mengatakan pihaknya mulai mendata pengungsi Rohingya tersebut.
Dari pemeriksaan awal, kata Yahya, pihak imigrasi mengategorikan mereka dalam pengungsi illegal karena tidak memiliki dokumen identitas maupun dokumen perjalanan. "Sudah kita kantongi nama-namanya. Ini hanya nama sementara, belum nama pasti. Karena tidak ada dokumen pendukung apapun. Identitasnya tidak ada sama sekali," kata Yahya.
Pihak imigrasi baru mendata para pengungsi. Langkah selanjutnya, jelas Yahya, masih dirundingkan. Pihaknya hingga kini belum tahu sampai kapan para pengungsi ini akan berada di lokasi pengungsian tersebut.
"Kita sudah melakukan periksaan kesehatan, pendataan, kita foto dan ambil sidik jari. Pemerksaan belum dilakukan secara mendalam karena terkendala bahasa. Mereka tidak bisa berbahasan Inggris," tutur Yahya.
Tim dari International Organization for Migration (IOM) dan komisioner tinggi PBB untuk pengungsian atau disebut UNHCR telah datang ke lokasi dan bertemu dengan para pengungsi. Namun mereka tidak bersedia memberikan pernyataan pada awak media.
Terusir dari tanah kelahiran
Hingga Agustus 2017 lalu, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mencatat lebih dari 700.000 warga muslim Rohingya kabur ke Bangladesh. Kaburnya etnis Rohingya ini disebabkan pemerintah Myanmar dan milisi Budha melancarkan operasi yang disebut PBB sebagai pembersihan etnis.
Tak sedikit pula para 'manusia perahu' Rohingya mengarungi lautan lepas untuk mencari kehidupan baru yang dianggap lepas dari kesengsaraan dan pembantaian di tanah kelahirannya sendiri. Sehingga mereka terombang-ambing di lautan dan diselamatkan oleh nelayan Tanoh Rencong.
Etnis Rohingya mengalami diskriminasi selama beberapa dekade terakhir, sehingga memaksa mereka untuk keluar dari sana untuk menyelamatkan diri. Bahkan, di tanah kelahirannya, mereka ditolak kewarganegaraan, diusir dari rumah, mereka, tanah mereka disita, dan mereka diserang oleh militer.
Muslim Rohingya bukan kali ini saja dievakuasi ke daratan Aceh oleh nelayan. Sebelumnya, pada 6 April lalu, lima orang juga diselamatkan oleh nelayan Aceh ketika sedang terombang-ambing di laut dalam sebuah kapal kecil tak bermesin. Lima oranf lainnya dalam perahu yang sama telah tewas karena kekurangan makanan dan dibuang ke laut.
Pada 2015 lalu, sebanyak 1.000 warga Rohingya diselamatkan oleh para nelayan Aceh. Dalam beberapa tahun terakhir, muslim Rohingya sering terdampar di perairan Aceh.
Sebagian dari mereka masih ditampung di sejumlah lokasi pengungsian di Medan, Sumatera Utara. Sebagian lainnya telah dikirim ke negara ketiga yang menerima suaka politik mereka.
Tanpa identitas
Relawan Tagana Dinas Sosial memberikan aba-aba saat masakan di dapur umum telah siap. Dari ruangan, mereka mendekat ke dapur umum. Melalui Muhammad Rafik, petugas memberikan arahan agar mengantri.
Di depan, pria mengikuti antrian yang dipimpin Rafik. Perempuan dan anak-anak menyusul di belakang. Mereka mendapatkan sebungkus nasi dan lauk.

Usai makan, petugas meminta mereka memegang sebuah papan tulis kecil. Di papan itu, disuruh menulis nama dan usia. Kemudian petugas memotret mereka satu per satu.
“Tidak ada tanda identitas mereka, ini cuma difoto sesuai nama dan umur saja,” ujar salah seorang petugas yang memotret. Setelah didata, pengungsi mendapat pemeriksaan kesehatan dari dinas kesehatan setempat.
—Rappler.com