Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

MK Diskualifikasi Cabup Boven Digoel soal Eks Terpidana Militer

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi calon Bupati (Cabup) Kabupaten Boven Digoel nomor urut 3, Petrus Ricolombus Omba. Keputusan itu tertutang dalam Putusan MK karena menilai Petrus berupaya menyembunyikan statusnya sebagai mantan terpidana.

"Menyatakan diskualifikasi calon bupati dari Pasangan calon nomor urut 3 (Petrus Ricolombus Omba) dari kepesertaan dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Boven Digoel tahun 2024," kata Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (24/2/2025).

Hakim Konstitusi, Ridwan Mansyur memaparkan mengenai pertimbangan MK dalam mengambil putusan. MK berpendapat Petrus pernah dipidana di Pengadilan Militer tetapi terdapat surat keterangan tidak pernah dipidana oleh Pengadilan Negeri Merauke.

"Terhadap hal ini, Mahkamah berpendapat, khusus bagi calon yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana militer, maka yang bersangkutan memiliki kewajiban untuk mendapatkan/memperoleh surat keterangan dari Pengadilan Militer. Hal demikian tidak lain karena pengadilan yang mengetahui dan mempunyai catatan perkara militer adalah Pengadilan Militer, terutama Pengadilan Militer yang dulu memutus perkara pidana militer," tutur Ridwan.

"Apabila surat keterangan bagi seorang militer atau mantan militer dimintakan di pengadilan negeri, identitas orang yang pernah dijatuhi pidana militer demikian tidak akan terdeteksi atau tidak akan dapat ditemukan oleh Pengadilan Negeri, kecuali jika database perkara/putusan semua pengadilan (in casu database peradilan umum dan peradilan militer) telah saling terhubung satu sama lain serta dapat diakses/dibaca secara lintas wilayah yurisdiksi oleh semua pengadilan," sambung dia.

Meski statusnya bukan lagi merupakan anggota militer, Petrus dianggap harusnya mengetahui jika pengajuan permohonan surat keterangan tidak pernah dipidana seharusnya ditujukan kepada Pengadilan Militer.

Ridwan menambahkan, meski Petrus tidak menutupi status hukumnya dengan mengunggah putusan pengadilan di akun media sosialnya, hal itu tidak bisa meyakinkan MK bahwa masyarakat Boven Digoel mengetahui status hukum Petrus. Oleh sebab itu, MK berpandangan seharusnya Petrus mengisi identitas di aplikasi Silon dengan jujur dengan keterangan pernah dipidana oleh Pengadilan Militer.

"Artinya, Petrus Ricolombus Omba memiliki intensi/niat yang kuat menutupi status hukumnya sebagai mantan terpidana. Mahkamah menilai terdapat intensi, niat, atau sikap batin dari Petrus Ricolombus Omba untuk tidak secara jujur mengakui dirinya sebagai mantan narapidana, karena yang bersangkutan melalui timnya telah dengan sadar mengajukan dokumen resmi yang menyatakan Petrus Ricolombus Omba tidak pernah dipidana," ujar Ridwan.

Dengan berbagai pertimbangan yang disampaikan, MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Boven Diogel untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) dengan mendiskualifikasi Petrus. PSU tersebut harus dilaksanakan dalam 180 hari sejak putusan dibacakan.

Sebelumnya, kontroversi status terpidana Petrus Ricolombus Omba yang pernah tersangkut masalah pidana saat berstatus militer sempat menjadi sorotan dalam Persidangan Pemeriksaan Lanjutan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Boven Digoel pada Kamis (13/2/2025). Sidang Perkara Nomor 260/PHPU.BUP-XXIII/2025 ini berlangsung di Ruang Sidang Panel 2 MK yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.

Pasangan calon nomor urut 4 Hengki Yaluwo dan Melkior Okaibob (pemohon) menghadirkan Mompang Lycurgus sebagai ahli yang memberikan keterangan berkenaan dengan status terpidana Petrus dalam perspektif hukum pidana.

Dalam keterangannya, Mompang menjelaskan terdapat 3 poin dalam prinsip yang ada di dalam Pasal 7 ayat (2) butir g UU 10/2016 dalam kaitannya dengan hukum pidana, yaitu: tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang inkrahct karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun, kecuali terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang inkrahct dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Selain itu, Mompang juga menjelaskan, pihak yang bertanggung jawab secara pidana apabila SKCK dan/atau Surat Keterangan Tidak Pernah dipidana dari Pengadilan Negeri tidak benar. Bahkan menurutnya, mantan terpidana di bawah 5 tahun saat mengisi formulir permohonan SKCK dengan membuat pernyataan tertulis bahwa dirinya tidak pernah dipidana telah melakukan perbuatan tercela.

“Sejatinya sudah terjadi di situ adanya tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana sudah saya kutip tadi Pasal 263 KUHP demikian juga Pasal 266 KUHP apabila memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik,” ujar Mompang.

Mompang menjelaskan berkenaan dengan penggunaan surat yang isinya tidak benar selama bertahun-tahun berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Belanda. Menurutnya, menggunakan surat yang dipalsukan atau yang dibuat secara palsu seolah-olah surat tersebut merupakan surat yang asli dan tidak dipalsukan dapat dianggap sebagai perbuatan pemalsuan surat menurut Arrest Hooge Raad tanggal 9 Februari 1914.

Selain itu, berdasarkan Arrest Hooge Raad tanggal 14 Januari 1914 dinyatakan, jika pemakai telah menggunakan surat tersebut untuk memperdaya orang lain, terhadap orang mana ia telah bermaksud menggunakan surat yang bersangkutan, juga termasuk dalam katagori memalsukan sepucuk surat atau membuat suatu surat secara palsu atau dapat dipandang telah digunakan sebagai sepucuk surat.

KPU Kabupaten Boven Digoel selaku Termohon menghadirkan Feri Amsari sebagai ahli yang memberikan keterangan berkenaan dengan dalil Pemohon perihal status terpidana Petrus. Dalam keterangannya, Feri menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara pidana militer dengan pidana sipil karena tidak semua tindakan yang dianggap pidana militer merupakan perbuatan pidana bagi sipil.

“Bagaimanapun, militer dan sipil berbeda sehingga apa yang terjadi dalam pidana militer yang memiliki perbedaan mendasar karena objek hukumnya berbeda maka terhadap subjek hukumnya harus pula diberlakukan berbeda. Terutama pada ranah yang berbeda, misalnya ranah politik,” ujar Feri.

Selain itu, Feri juga menjelaskan bahwa hukum pidana militer berperan penting dalam menjaga disiplin, keamanan, dan etika di lingkungan angkatan bersenjata, sehingga seseorang bisa saja dihukum pidana militer karena bicara perlindungan nilai di dalam ruang kedisiplinan angkatan bersenjata. Namun, apa yang dianggap pidana tersebut menurut Feri belum tentu merupakan pidana di ruang sipil.

“Jadi, itu soal ruang yang berbeda dengan ruang apa yang terjadi di ruang sipil,” ujar Feri.

Kemudian, Feri merujuk pada Putusan MK Nomor 27/PUU-V/2007 dalam memberi keterangan berkenaan dengan status terpidana Petrus tersebut ketika masih menjadi militer. Pada pokoknya, Mahkamah menurut Feri dalam putusan tersebut mendepankan prinsip “untuk hal yang sama tidak boleh dibedakan, untuk yang berbeda tidak boleh disamakan.”

Dalam konteks pidana sipil dan militer, Feri menegaskan sipil dan militer berbeda sehingga harusnya sanksi-sanksi yang terdapat dalam ruang sipil tidak pula terdampak terhadap sanksi-sanksi yang ada di militer terutama khususnya untuk ruang-ruang kedisiplinan di milter.

“Hak politik mantan militer yang merupakan mantan terpidana hukum militer tidak seharusnya menjadi patokan untuk menghukum atau menghambat orang dalam karir politiknya setelah menjadi sipil,” ujar Feri.

Feri menceritakan kisah Chabiras dan Leodamas sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Demosthenes pada 2400 tahun silam. Dalam keterangannya, Feri menyebutkan bahwa Chabiras adalah mantan militer yang pernah melakukan kealpaan nilai dalam kedinasan militernya tetapi ia dicintai publiknya dan maju menjadi pejabat. la terpilih dalam jabatan publik karena kemasyhuran namanya. Namun ada Leodamas, seorang politisi yang begitu pendukung oligarki dan tidak menyukai kemenangan Chabrias. Leodamas lalu mencari kealpaan lawan saing politiknya tersebut di masa lalu dan dia menemukan ada morality value yang terlanggar oleh Chabiras dan itu digadang-gadangkan sebagai kealpaan yang harusnya membuat jabatan administrasi publiknya dihilangkan.

“Kisah Chabiras ini terulang di berbagai peristiwa politik dimana sering kali kealpaan tertentu menjadi sandaran untuk menghilangkan hak-hak para pihak,” ujar Feri.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us