Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

MK: Prajurit TNI Aktif Dilarang Isi Posisi Penjabat Kepala Daerah

Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK). IDN Times/Axel Joshua Harianja

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) pada 20 April 2022 lalu menolak permohonan judicial review (JC) Undang-Undang Pilkada yang pernah diajukan oleh Dewi Nadya Maharani dan lima orang lainnya, terkait pengisian posisi kepala daerah. Mereka menguji dua pasal ke MK yakni Pasal 201 ayat (1) dan Pasal 201 ayat (11) UU Nomor 10 Tahun 2016. 

Pasal 201 ayat (1) berbunyi "untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Sedangkan, Pasal 201 ayat (11) berbunyi "untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Sementara, keenam pemohon berharap masa jabatan kepala daerah yang semula habis pada 2023 dan 2024 dapat diperpanjang hingga pilkada 2024. Pemohon juga berharap kepala daerah yang bersangkutan lah yang menyiapkan pilkada pada 2024. Mereka tak setuju bila posisi kepala daerah yang kosong bakal diisi sementara waktu oleh penjabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya atau jabatan pimpinan tinggi pratama. Setidaknya ada 101 kepala daerah yang masa jabatannya bakal berakhir pada 2022.

Sementara, keenam pemohon menilai penentuan penjabat sementara bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan pilkada yang demokratis. Tetapi, sembilan hakim MK sepakat menyebut bahwa penyelenggaraan pilkada serentak pada 2024 tidak melanggar hak konstitusional pemilih. 

"Oleh karena itu, bagi kepala daerah yang telah dipilih oleh pemohon dan berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023 dan tidak diangkat sebagai penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan hukum jabatan kepala daerah hingga pilkada serentak nasional 2024 seperti yang didalilkan oleh pemohon, bukan persoalan konstitusionalitas norma," demikian ungkap sembilan hakim MK yang dikutip dari putusan nomor 15/PUU-XX/2022.

MK menyebut, posisi kosong ratusan kepala daerah itu bisa diisi oleh pejabat ASN. Namun, hal itu tak berlaku bagi prajurit TNI atau personel kepolisian aktif. Mengapa demikian?

1. Bila personel militer ingin isi posisi kepala daerah maka harus mundur atau pensiun dari TNI

Ilustrasi prajurit TNI (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Hakim MK dalam dalilnya mengatakan, pengisian jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota kepolisian mengacu kepada UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI serta UU Nomor 2 Tahun 2002 mengenai kepolisian. Bila merujuk ke Pasal 47 maka sudah ditentukan, prajurit TNI dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. 

"Sementara, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung," demikian kata MK. 

MK juga menyebut, prajurit aktif TNI bisa menduduki di instansi tersebut didasarkan atas permintaan dari pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian, serta tunduk kepada ketentuan administrasi yang berlaku di instansi tersebut.

Sedangkan, bagi personel kepolisian ditentukan di Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002. Di sana tertulis, anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan dari atau pensiun dari dinas kepolisian. 

"Jabatan di luar kepolisian yang dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri," kata MK. 

2. Pemerintah diminta segera terbitkan peraturan pelaksana untuk isi jabatan kepala daerah yang kosong

Dua pasang kepala daerah dilantik Gubernur Sumatra Utara Edy Rahmayadi, Kamis (22/7/2021). Kepala daerah yang dilantik adalah Bupati Madina dan Labusel. (Diskominfo Sumut)

Sementara, di dalam putusan MK itu, sembilan hakim konstitusi juga memerintahkan pemerintah agar segera menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 201.

"Dengan demikian, tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas, bahwa pengisian posisi penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi," ungkap hakim MK. 

Selain itu, dengan adanya peraturan pelaksana bisa memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung secara terbuka, akuntabel, dan transparan. Di sisi lain, hakim MK juga meminta kepada pemerintah untuk mempertimbangkan memberikan penjabat itu kewenangan selama masa transisi menuju ke pilkada serentak nasional.

"Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki oleh penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun daerah yang dipimpin oleh pejabat definitif," kata hakim MK. 

Namun, di dalam putusan itu, MK tak memberikan tenggat waktu kapan peraturan pelaksana tersebut harus selesai disusun. 

3. Mantan hakim MK sebut penjabat kepala daerah tak boleh rangkap jabatan

Eks Ketua Mahkamah Konstitusi/Kuasa Hukum Partai Demokrat, Hamdan Zoelva (dok. Partai Demokrat)

Sementara, menurut mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva, individu yang mengisi penjabat daerah tak boleh merangkap jabatan struktural di eselon sebelumnya. Tujuannya, agar mereka bisa berkonsentrasi penuh saat menjalankan tugasnya. 

"Penting untuk menjamin konsentrasi penuh penjabat kepala daerah dengan memastikan, penjabat kepala daerah tidak merangkap jabatan di jabatan struktural di eselonnya yang sebelumnya,” ujar Hamdan seperti dikutip dari kantor berita ANTARA, 19 April 2022 lalu. 

Ia menuturkan, menjelang Pemilu 2024 dan pilkada serentak 2024, pejabat struktural di kementerian pasti memperoleh beban kerja yang tinggi, terlebih Kementerian Dalam Negeri. Di sisi lain, penjabat kepala daerah juga akan berhadapan dengan persiapan pemilihan umum di daerah mereka masing-masing bertugas. Kondisi tersebut dapat menjadi tantangan bagi seorang penjabat kepala daerah apabila masih secara aktif memegang jabatan yang sebelumnya.

"Kalau dirangkap, akan menimbulkan permasalahan dan kesulitan dalam membagi waktu bagi penjabat kepala daerah. Apakah konsentrasi penuhnya mengurus daerah atau melaksanakan urusan birokrasi di kementerian?" tanya Hamdan. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Sunariyah
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us