Pengalaman Tes Virus Corona di Jakarta: Menunggu Hasil Hingga 10 Hari

Jakarta, IDN Times - Kasus virus corona atau COVID-19 di Indonesia terus bertambah. Hingga akhirnya, pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna mengurangi penyebaran virus corona yang semakin meluas.
Penyebaran yang begitu masif seakan membuat pemerintah tak siap dan kewalahan menghadapinya. Korban meninggal akibat virus corona terus berjatuhan dari hari ke hari.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona Achmad Yurianto, mengklaim pemerintah telah menyiapkan 300 rumah sakit rujukan penanganan pasien COVID-19.
“Lebih dari 300 rumah sakit rujukan telah ditunjuk dan telah operasional, kemudian didukung juga oleh sekian banyak tenaga kesehatan, baik dokter spesialis, perawat, dan pendukung lainnya," kata dia dalam keterangan pers, Jumat (10/4).
Apakah ratusan rumah sakit rujukan tersebut siap menangani pasien virus corona? Kali ini, saya akan berbagai pengalaman saat melakukan tas swab atau pengambilan tes Polymerase Chain Reaction (PCR), untuk mengetahui apakah saya terinfeksi virus corona atau tidak.
Setelah menimbang banyak hal dan mendengar pengalaman orang-orang di sekitar, saya memutuskan melakukan pemeriksaan di RSUD di kawasan Jakarta Pusat. Saya sendiri pernah kontak langsung dengan pasien COVID-19. Itu kekhawatiran saya yang terus menghantuiku.
1. Berstatus ODP, saya harus melakukan swab tes di rumah sakit rujukan

Sejak insiden Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi (BKS) dinyatakan positif virus corona pada 14 Maret 2020, saya memutuskan melakukan tes swab. Sebab, pada 4 Maret 2020, saya sempat berinteraksi langsung dengan Menhub dan berfoto bersama. Siapa sangka momen tersebut membuat saya berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP).
Pada 15 Maret 2020, saya pun pergi ke RSPI Sulianti Saroso untuk memastikan, apakah saya terinfeksi virus corona atau tidak, setelah kontak langsung dengan Menhub. Tetapi, karena tidak adanya gejala, akhirnya tim medis menyuruh saya isolasi mandiri di rumah selama 14 hari.
Akhirnya, saya memutuskan tidak perlu tes swab saat itu. Namun, karena kebijakan kantor tempat saya bekerja, akhirnya saya diminta tetap melakukan tes swab meski tidak ada gejala sama sekali.
Setelah beberapa hari isolasi mandiri di rumah, saya merasakan sesak napas. Saya memang memiliki riwayat sesak napas karena alergi debu, dingin, dan saat kelelahan.
Saya memutuskan pergi ke salah satu rumah sakit rujukan pemerintah, agar dilakukan tes COVID-19. Setelah penuh pertimbangan dan berpikir panjang, saya memilih RSUD ini sebagai salah satu rumah sakit rujukan pemerintah.
2. Para dokter harus dibatasi memeriksa pasien

Saya akhirnya memulai proses pemeriksaan di rumah sakit. Karena sesak napas mulai kambuh, saya memutuskan pergi ke dokter spesialis paru terlebih dahulu. Cukup lama menunggu antreannya. Pihak rumah sakit saat itu sudah menerapkan physical distancing antar pasien. Setiap kursi selalu diberi jarak satu bangku kosong. Hand sanitizer juga tersedia di berbagai sudut.
Masih banyak orang lalu lalang memeriksakan kesehatan di rumah sakit itu, meski pemerintah saat itu sudah mengimbau social distancing. Di poli paru juga terlihat banyak pasien saat itu. Saya mendapat nomor antrean sembilan dan harus menunggu hampir dua jam.
Sebelum bertemu dokter, perawat memeriksa suhu pasien terlebih dahulu. Mereka memeriksa tensi dan berat badan pasien. Lalu, para perawat akan bertanya keluhan para pasien dan menanyakan, ada riwayat bepergian ke luar negeri atau tidak selama waktu 14 hari.
“Saya 4 Maret sempat kontak langsung sama Menhub, mbak,” ucap saya kepada perawat.
“Apakah kontak langsung nya dalam jarak dekat?” tanya perawat itu.
“Dekat, karena Menhub ada di samping saya persis, mbak,” jawab saya, lagi.
Kemudian, sang perawat meminta saya menunggu antrean lagi untuk bertemu dokter. Setelah mengusir kejenuhan dengan bermain telepon genggam, akhirnya nama saya pun dipanggil.
Sang dokter menyambut saya ramah. Dia bertanya tentang keluhan saya dan menanyakan riwayat saya, apakah pernah kontak langsung dengan pasien positif virus corona atau tidak. Saya pun menceritakan tentang riwayat kontak langsung dengan Menhub.
Setelah itu, sang dokter memeriksa saya dan mengatakan tak ada permasalahan dengan pernapasan saya. Namun, karena wabah virus corona sedang melanda Indonesia dan status saya yang masih ODP, akhirnya dokter menyarankan saya melakukan swab.
“Kamu swab, ya. Tapi saya belum bisa swab kamu hari ini, karena alatnya masih belum ada,” ujar sang dokter yang mengenakan masker itu.
Saya pun bertanya, “Memangnya alat yang dikasih pemerintah gak banyak, ya dok?”
Sang dokter menjawab, “Gak banyak. Alat yang ada sekarang prioritas buat yang Pasien Dalam Pengawasan (PDP).”
Lalu dia bercerita kepada saya tentang kurangnya alat swab yang diberikan pemerintah untuk memeriksa COVID-19. Dia mengatakan, semua pasien yang datang akan diminta melakukan swab, karena kondisi gejala virus corona yang sulit ditebak.
Sang dokter lalu mengatakan, karena banyaknya kunjungan, pasien akan dibatasi guna mengurangi penyebaran virus corona.
Selanjutnya, sang dokter menyuruh saya melakukan swab pada Kamis, 26 Maret 2020. Pada hari itu, RSUD ini sudah memiliki poli ODP yang dikhususkan bagi orang-orang yang ingin tes swab.
“Jadi kamu sekarang rontgen dulu dan tes darah, ya. Kamis kamu ke sini lagi,” kata dia.

3. Poli ODP hanya memeriksa 10 pasien per hari

Pada Kamis 26 Maret 2020, saya kembali lagi ke RSUD ini. Saya tiba sekitar pukul 10.00 WIB. Saya bertanya ke sekuriti, di mana Poli ODP berada. Sebelum masuk ke rumah sakit, pemeriksaan virus corona rupanya sudah lebih ketat. Setiap pengunjung yang berkunjung harus dites suhu badan terlebih dahulu.
Setelah melewati tes suhu badan, saya diarahkan ke poli ODP yang terletak di pojok rumah sakit tersebut, bersebalahan dengan jalan menuju parkir motor. Poli ODP tidak terlalu besar, namun cukup untuk memeriksa pasien ODP.
Saat itu, suasana poli sudah tampak ramai. Saya bertanya kepada salah satu tenaga medis cara mendaftar di poli tersebut. Tetapi sayangnya, poli ODP ternyata hanya menerima 10 pasien per hari, sehingga kursi pun terbatas. Alhasil, saya tidak mendapatkan apa-apa hari itu. Tenaga medis pun menyuruh saya kembali lagi ke rumah sakit besoknya, Jumat 27 Maret 2020.
Pada kesempatan itu saat saya bertanya harga tes swab, tenaga medis tersebut menyebut harganya berkisar Rp400-500 ribu, tapi belum bisa ditanggung asuransi atau BPJS, sehingga harus merogoh kantong sendiri. Saya pun mengikuti prosedur yang ada.
4. Koordinasi rumah sakit minim, membuat pasien kurang dilayani dengan baik

Keesokan harinya, saya mengikuti anjuran tenaga medis datang lebih awal. Sekitar pukul 07.00 WIB, saya sudah tiba di RSUD. Seperti biasa, saya harus melalui proses pengecekan suhu badan terlebih dahulu. Kemudian saya mendaftar poli ODP.
Usai tes suhu badan, seorang sekuriti mengarahkan saya ke meja pendaftaran. Saya langsung bergegas menuju ke sana. Namun, petugas mengatakan pendaftarannya belum dibuka, dan meminta saya menunggu. Tetapi, petugas lain mengatakan pendaftaran ada di poli ODP, bukan di lobi utama.
Akhirnya, saya mengikuti arahan mereka. Saya menuju poli ODP. Poli tersebut memang belum dibuka. Hanya ada satu pasien yang sedang menunggu di depan poli. Saya pun duduk di sana, menunggu poli tersebut buka.
Hampir satu jam lebih saya menunggu, hingga akhirnya ada seorang pasien yang datang ke poli sambil membawa nomor antrean. Saya pun bertanya-tanya, kenapa pasien tersebut sudah mendapatkan nomor antrean?
“Pak, dapat nomor antrean dari mana?” tanya saya pada pasien tersebut.
“Loh, di sana (lobi utama), mbak, daftarnya,” jawab dia.
“Loh tadi saya ke sana, katanya disuruh di poli sini daftarnya, pak,” kata saya, heran.
Kemudian, datang lah seorang sekuriti. Saya meminta kejelasan di mana harus mendaftar poli ODP. Sama seperti perkataan pasien yang saya temui tadi, saya diarahkan ke lobi utama untuk mendaftar. Saya pun kesal. Pria yang sedari tadi duduk di sebelah saya juga sama, kesal, karena kami berdua diarahkan ke poli ODP untuk pendaftaran.
Saya pun bergegas mendaftar karena kuota yang tersedia hanya untuk 10 orang. Saat saya datang, rupanya sudah ada tujuh pedaftar sebelumnya. Kesal memang dengan koordinasi rumah sakit yang kurang baik, hingga menyulitkan pasien yang akan memeriksakan virus corona.
5. APD tenaga medis masih minim dan alat swab terbatas

Singkat cerita, akhirnya saya pun mendapatkan nomor antrean dan menunggu di dalam poli ODP. Sebelum melakukan pemeriksaan, saya harus merogoh gocek Rp505 ribu untuk pemeriksaan swab. Itu termasuk biaya tes darah, tes swab, dan konsultasi dokter.
Suasana poli ODP saat itu tak terlalu ramai. Karena memang kuota pasien yang dibatasi. Namun, ada hal yang membuat saya miris kala itu. Melihat para tenaga medis yang berada di garda terdepan, tapi mereka tak siap dengan Alat Pelindung Diri (APD).
Para tenaga medis tak dilengkapi APD yang seharusnya. Mereka hanya berbalut kain putih tipis, dengan masker medis, sarung tangan dan sarung rambut.
Setelah cukup lama menunggu antrean, akhirnya nama saya dipanggil. Tapi rupanya di poli ODP, yang ada hanya dokter umum, bukan dokter spesialis.
Dokter menanyakan keluhan saya. Alhasil, saya harus mengulang kronologi riwayat saya saat kontak langsung dengan Menhub. Awalnya, ang dokter heran karena gejala yang saya rasakan hanya sesak napas. Tidak ada demam, flu, atau batuk. Bahkan, masa isolasi 14 hari saya setelah kontak langsung dengan Menhub sudah berakhir.
Setelah berkonsultasi, dokter menyarankan saya tidak perlu tes swab. Sama seperti di RSPI Sulianti Saroso, ia hanya meminta saya isolasi mandiri di rumah.
“Tapi kamu sudah rontgen ya kemarin? Sebentar saya lihat dulu,” ucap dokter.
Saya pun kembali menunggu dokter yang masih melihat hasil rontgen saya. Tak berapa lama, ia masuk kembali ke dalam ruangan sambil berucap, “Kamu swab ya,” ucap dia.
Tentu saya kaget, kenapa sang dokter tiba-tiba berubah pikiran menyuruh saya swab?
“Kenapa ya dok tiba-tiba harus swab?” tanya saya.
“Ada bercak sedikit di paru-paru kamu sebelah kanan. Ada gejala pneumonia,” terang dokter.
Saya pun sedikit khawatir, dan kembali bertanya, “Dok, itu bercaknya bukan karena COVID-19, kan?”
“Belum tentu. Bercak bisa karena infeksi paru-paru lainnya. Makanya untuk memastikan, kamu swab aja ya,” jawab sang dokter.
Saya akhirnya setuju melakukan swab. Setelah berkonsultasi, saya diarahkan tes darah. Hari itu, saya kembali dibuat kecewa oleh pihak rumah sakit. Saya tidak bisa langsung swab, karena alat yang tersedia sudah habis. Salah satu tenaga medis mengatakan, jumlah alat untuk swab yang dikirimkan pemerintah setiap harinya terbatas.
“Iya, mbak. Ini alatnya terbatas. Sehari cuma 30-an yang dikirim pusat. Jadi harus nunggu alatnya datang lagi. Nanti kalau sudah datang, kami akan hubungi, ya,” ucap seorang tenaga medis.
Mau tidak mau, saya harus menunggu lagi, karena persediaan alat swab yang diberikan pemerintah memang terbatas. Jadi, saya harus kembali lagi ke rumah sakit untuk dilakukan swab.
6. Harus menunggu hasil tes swab selama 10 hari

Setelah menunggu empat hari, akhirnya pada Selasa 31 Maret 2020, saya dipanggil RSUD untuk melakukan tes swab dan diminta tiba pukul 08.00 WIB.
Setibanya di rumah sakit, poli ODP masih terlihat sepi pasien. Saya kembali diminta mengisi formulir tes swab. Usai mengisi formulir, saya kembali diminta menunggu antrean oleh tim medis.
Hampir dua jam lebih saya menunggu untuk dilakukan swab. Tim medis yang ditugaskan melakukan swab rupanya mengenakan APD yang berbeda dengan tim medis yang berada di luar. APD yang digunakan kali ini cukup lengkap, dengan kain pelindung tebal dan google yang besar, serta penutup kepala hingga kaki yang rapat.
Saya sedikit khawatir menjelang pemeriksaan swab. Sebab, seorang pasien lain sebelum saya, sempat berteriak saat dilakukan swab.
“Mbak, ini gak sakit kan?” tanya saya, memastikan kepada tenaga medis.
“Gak kok. Yang penting mulutnya bisa kebuka lebar, pasti gampang,” kata dia.
Lalu, tenaga medis itu meminta saya membuka mulut untuk melihat seberapa lebar mulut saya jika terbuka.
“Oh, oke. Bisa kalau gini,” kata dia.
Kemudian, ia mengambil sebuah alat. Bentuknya seperti katembat, namun ukurannya lebih panjang. Ia meminta saya terus membuka mulut dengan lebar. Alat tersebut sempat dioleskan ke sebuah cairan, sebelum dimasukkan ke dalam kerongkongan saya. Rasanya sedikit sakit, namun tak lama prosesnya.
Setelah itu, ia menggunting ujung alat yang digunakan untuk mengambil sampel lendir tenggorokan saya. Ia masukkan ke dalam sebuah plastik yang sudah disediakan.
“Sudah selesai ini, mbak?” tanya saya.
“Iya, sudah, kok,” kata dia.
“Loh lendir hidung gak diambil, mbak?” tanya saya, lagi.
“Gak kok. Cukup tenggorokan aja yang diambil,” jawab dia, lagi.
Selesai. Akhirnya saya beranjak dari kursi. Tetapi saya sempat bertanya sedikit tentang kapan hasil tes swab saya keluar. Tenaga medis itu tak menjawab pastinya. Dia hanya mengatakan nantinya pihak rumah sakit akan menghubungi saya, jika sudah keluar hasilnya. Saya pun meninggalkan ruangan itu.
Seminggu sudah berlalu, tapi belum juga ada kabar dari rumah sakit tentang hasil swab saya. Saya penasaran bercampur khawatir, karena hasilnya tak kunjung keluar.
Saya tak bisa membayangkan, apabila ada pasien suspect virus corona, namun hingga tujuh hari belum tahu hasilnya. Tentu akan membuat keterlambatan penanganan jika memang pasien itu positif COVID-19.
Tak sabar menunggu hasil tes swab, saya pun langsung menghubungi dokter yang saat itu memeriksa saya. Kebetulan, teman saya sempat meminta nomor dokter tersebut.
Pada 8 April 2020, saya bertanya pada sang dokter, apakah hasil swab saya sudah keluar atau belum. Namun, sang dokter hanya membalas dengan meminta nama lengkap saya. Tapi tak ada lagi balasan dari sang dokter.
Keesokan harinya, pada 9 April 2020, saya mencoba bertanya lagi kepada sang dokter tentang hasil swab saya, karena sudah genap sembilan hari saya menunggu hasil swab, dan belum ada kejelasan dari rumah sakit. Tapi sang dokter tak membalas pesan singkat saya.
Akhirnya, keesokan harinya pada 10 April 2020, sang dokter membalas pesan singkat saya, dan menyatakan hasil swab saya negatif, alias tak ada virus corona di tubuh saya.
“Hasil baru keluar pagi ini. Swab-nya negatif, ya. Dua minggu lagi swab ulang,” kata dokter, dalam pesan singkat.
Lega rasanya. Saya bersyukur, saya tidak terinfeksi virus corona. Tapi sempat kesal karena saya harus menunggu 10 hari untuk mengetahui hasil tes swab. Itu pun saya harus menghubungi sang dokter terlebih dahulu. Jika saya tidak menghubungi dokter, kemungkinan tak ada kabar dari RSUD tentang hasil swab saya.
Meski demikian, saya tetap berterima kasih kepada para tim medis yang selalu siap berada di garda terdepan dalam menangani pasien virus corona, meskipun risiko yang mereka hadapi begitu besar. Perjuangan mereka luar biasa, sampai-sampai mereka harus jauh dari keluarga dan bahkan terusir dari lingkungan mereka.
Semoga pandemik virus corona ini segera berakhir, agar kita semua bisa kembali berkumpul bersama orang-orang tersayang.